A. Pengertian
Ushul
fiqih adalah kaidah kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk istinbath
(mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil yang tafshili
(jelas).
Macam-macam
dalil :
A. Dalil naqli (teks) :
1. Al-Quran
2. Sunnah (Hadits)
B. Ijma (konsensus)
C. Dalil aqli (akal)
1. Qiyas
2. Istihsan
3. Maslahah Mursalah
4. Dan lain-lain.
Firman
Allah dalam QS An Nisa [4] : 59
Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan)
diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah
kepada Allah dan RasulNya.
Taatilah
Allah merujuk kepada Al-Quran.
Taatilah
Rasul merujuk kepada sunnah (hadits)
dan
Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu merujuk kepada Ijma (konsensus)
ulil-amri.
Kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul-Nya merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah dengan
yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada Al-Quran dan atau Hadits,
pelajari qarinah (petunjuk) hikmah syariat didalamnya, dsb.
Firman
Allah dalam QS An-Nahl : 44
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.
Ayat diatas dengan jelas Allah
memerintahkan umat Islam menggunakan akalnya untuk memikirkan Al-Quran, yaitu
menggunakan segala daya upaya kemampuan berpikir untuk ber ijtihad menyimpulkan
hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Quran yang tersurat (eksplisit-tekstual) maupun
yang tersirat (implisit-kontekstual).
Hadits Nabi :
Diriwayatkan
dari Muadz bin Jabal, bahwa Rasulullah tatkala mengutus Muadz sebagai qadli
(hakim) di Yaman, beliau bertanya : Bagaimana kamu akan memutuskan hukum jika
menghadapi kasus ? Muadz menjawab : Saya akan memutuskan dengan apa yang ada
pada kitab Allah. Rasulullah bertanya lagi : jika tidak didapat di Kitab Allah
? Muadz menjawab : Maka aku putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah
kembali bertanya : Jika tidak terdapat pada Sunnah Rasulullah ? Muadz akhirnya
menjawab : Ajtahidur rayi Saya akan ber
ijtihad dengan akal-pikiran saya, saya tidak
putus asa. Muadz berkata : Lalu Rasulullah menepuk dadaku, seraya bertahmid :
Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul-nya yang
diridhoi oleh-Nya. (HR Abu Dawud).
Hadits Muadz diatas juga menunjukkan
ijtihad dengan akal dibolehkan oleh Rasulullah dan diridloi oleh Allah, tapi
dengan catatan ijtihad dengan akal baru digunakan bila tidak ditemukan dalil
pada Al-Quran dan Hadits.
B. Sumber Hukum Pimer
1. Al-Quran
Al-Quran adalah sumber hukum primer yang pertama, Dalil yang
berupa ayat-ayat Al-Quran bersifat qathi (pasti) wurudnya (sumbernya) yaitu berupa khabar yang sampai kepada kita
dengan cara yang mutawatir dan dijamin terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk lafazhnya) ada yang qathi yaitu yang sharih (jelas) sehingga semua ulama menyepakati maknanya dan ada
yang masih menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca
kembali meteri Ushul Tafsir tentang muhkam-mutasyabih, mantuq-mafhum, am-khas,
mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna hakikat-majaz-musytarak).
2. Sunnah (Hadits)
Hadits nabi merupakan sumber hukum primer kedua, Peranan
Hadits terhadap Al-Quran adalah sbb :
1. Memperkuat hukum yang ada di Al-Quran.
2. Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam
Al-Quran.
3. Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Quran.
4. Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari
Al-Quran.
5. Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Quran.
6. Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Quran.
Hadist nabi yang mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih
maka dalilnya bersifat Qathi (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits
ahad (jalan sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir) dan masih
diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat
dzanni (dugaan) wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits tentang mushthalah
hadits dan mukhtaliful hadits).
Demikian pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya
sharih dan tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama maka qathi pula
dhalalahnya. Tapi bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai
maknanya maka menjadi dzunni dhalalahnya.
C. Istinbath hukum dari dalil Al-Quran dan Hadits
1. Kejelasan makna lafazh
Tingkat
kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
a. Zhahir, paling rendah tingkat kejelasannya. Masih
memungkinkan adanya makna lain (ihtimal).
Contoh
zhahir seperti pada ayat :
Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. (QS An-Nisa : 3).
Dari segi zhahir lafazh ayat membolehkan poligami maksimal
sampai empat orang istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir
masih memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), tawil dan nasakh.
b. Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima
kemungkinan makna lain (ihtimal).
Contoh nash seperti pada ayat :
Perempuan yang berzina
dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari
akhirat. (QS An-Nur : 2).
Hukum hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang
pasti tidak kurang tidak lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan
jumlah yang lain.
c. Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang
menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih mujmal (global).
Perhatikan firman Allah :
Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya . (QS Al-Maidah [3] : 38).
Ayat diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian
datang hadits nabi yang menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan),
hadits yang menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah :
tidak dikenakan hukuman potong
tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.
Tidak dikenakan hukuman potong
tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.
Demikian juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi
prajurit yang mencuri dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak
menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan
kelaparan.
Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain
kecuali berupa nasakh.
d. Muhkam, paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna
lain (ihtimal) baik itu berupa takhsis, tawil maupun nasakh, seperti firman
Allah :
Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. (QS An-nur : 4).
Demikian
juga hadits nabi :
Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.
Sedangkan
lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas :
a. Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian
cakupan makna yang dimaksud (maudlul).
Hadits nabi : Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.
Lafazh qatil (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah
pembunuhan yang sengaja. Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak
sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak mendapat warisan
? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam mazhab.
Contoh lain yaitu lafazh sariq pencuri maka pengertian
umumnya adalah orang yang secara sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain
yang tersimpan. Maka pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri
atau bukan, karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak
sembunyi-sembunyi sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau
tidak.
Demikian juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk
kategori pencuri (sariq) atau bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang
yang bukan milik orang yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat
sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak
memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus
dihukum potong tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafii, Imam Malik, Imam
Ahmad bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri
yang harus dihukum potong tangan.
b. Al-Musykil yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab
pada lafazh itu sendiri. Contohnya lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu
arti). Contohnya kata ain, kata ini mengandung beberapa makna bisa berarti :
mata, mata air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus
diperhatikan dalam konteks apa kata itu dirangkai dengan kata yang lain menjadi
kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus dicari perbandingannya dari
dalil-dalil yang lain yang dapat membantu penafsirannya.
c. Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung
cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui
secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal
tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).
Contohya tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua
lafazh itu masih mujmal maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan
dan contoh perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .
d. Mutasyabih yaitu lafazh yang sangat samar maknanya,
sangat sulit bahkan ada yang tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama
sekalipun dan hanya Allah yang tahu maknanya.
contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1. Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan
hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami
maksudnya.
Riwayat
Abu Ubaid, dari Anas : Khalifah
Umar pernah membaca ayat, wafakihatan wa abban Dan
buah-buahan dan rumput-rumputan (QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata :
Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud al-ab
?, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : Hai Umar, sesungguhnya apa
yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri.
Riwayat
lain dari Muhammad bin Sad dari Anas : Umar berkata kepada dirinya sendiri : Ini hal yang
dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui.
3. Ayat-ayat tentang Asma Allah dan sifat-sifatNya yang
menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui,
Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
4. Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan
mahkluk, contoh : Allah bersemayam diatas Arsy, Allah turun ke langit dunia,
Allah melempar, dan datang lah Tuhanmu, dsb
5. Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala
sesuatu pasti binasa kecuali wajahNya, tangan Allah diatas tangan mereka, dsb
6. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam
jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
7. Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat
(huruf muqattaah).
Yang perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif
(beban kewajiban) dan yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan
sendi syariat Islam didalamnya tidak ada yang mutasyabih.
(Baca kembali Ushul Tafsir Point VI tentang Muhkam
Mutasyabih)
2. Petunjuk Lafazh (dhalalah)
A. Mantuq yaitu makna berdasarkan bunyi eksplisit yang tersurat
(tekstual)
B. Mafhum yaitu makna berdasarkan pemahaman implisit yang
tersurat (kontekstual).
A. Mantuq
Mantuq
adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan
pengertian ke makna yang lain.
Mantuq
terdiri atas 5 (lima) kategori :
1.
Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang
dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain.
Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji
dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,
itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
Penyifatan
sepuluh dengan sempurna telah mematahkan kemungkinan Sepuluh ini diartikan lain
secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.
2. Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang
segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang
lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya
kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena
zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya
dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 famanidlthurro ghaira baghi wa la ad. Lafazh
al-bagh digunakan untuk makna al-jahil (bodoh, tidak tahu) dan az-zalim
(melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan
populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama
lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :
Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum
mereka bersuci .
Berhenti
haid dinamakan suci (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut tuhr. Namun
penunjukan kata tuhr kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir)
sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang
pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
3.
Muawwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu
dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Muawwal berbeda
dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil
yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan muawwal diartikan dengan
makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi
masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang
tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP
4.
Dalalah istida adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang
tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada
QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada
hari-hari yang lain.
Ayat
ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu lalu ia berbuka, sebab
kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam
perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada
kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa [4] : 23 :
Diharamkan atas kamu ibu-ibumu
Ayat
ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata
bersenggama, sehingga maknanya yang tepat adalah diharamkan atas kamu
(bersenggama) dengan ibu-ibumu.
5.
Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang
tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187
:
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar
Ayat
ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam
keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar
sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau
memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab
sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan
bercampur sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan
untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam
keadaan junub.
B. Mafhum
Mafhum
adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan
yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
Mafhum
terdiri atas 2 (dua) jenis :
a. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang
hukumnya sepadan dengan mantuq, terdiri dari :
1. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih
harus diambil hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra [17] : 23 :
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya (orang tua) perkataan ah .
Ayat
ini mengharamkan perkataan ah yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang
tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan
lain seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak
disebutkan dalam teks ayat.
2. Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan
hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisa [4] : 10 :
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya
Ayat
ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan
sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan,
merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
b. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang
hukumnya kebalikan dari mantuq, terdiri dari :
1. Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat manawi, contohnya
pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :
Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti
Ayat
ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa oleh
orang fasik. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah)
bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa,
diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan tsiqoh wajib diterima.
2. Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya
seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.
Dengan
pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak
tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.
3. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2]
: 230 :
Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan
suami yang lain
Dengan
pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali
kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi
halal dikawin lagi.
4. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah
[1] : 5 :
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada
Engkaulah kami memohon pertolongan
Dengan
pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh
memohon pertolongan kepada selain Allah.
Berhujjah
dengan Mafhum :
a. Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhum
mukhalafah (perbandingan terbalik).
b. Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah tidak memakai mafhum laqab.
3. Cakupan Lafazh
A. Am (umum) Khas (khusus)
Lafazh Am (umum)
Adalah
lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juziyah) yang relevan dengan
cakupan makna itu tanpa batas.
Allah
berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan
keluargamu.
Berdasarkan
keumuman lafazh keluarga pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh menagih
janji Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada Allah agar
menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal itu dapat kita lihat pada
QS Hud [11] : 45 :
Dan nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata :
Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasukkeluargaku dan sesungguhnya janji
Engkau adalah benar.
Kemudian
Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud
[11] : 46 :
Allah berfirman, Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak
termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).
Jawaban
Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata keluargamu yang dijanjikan
akan diselamatkan.
Aneka Ragam bentuk Am :
1. Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan);
yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham) :
2. Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan
balasan, seperti :
a. QS Al-Baqarah [2] : 272 :
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah),
niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun
dianiaya.
b. QS An-Nisa [4] : 123
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya
akan diberi pembalasan (sesuai) dengan kejahatan itu.
3. Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jamiun (seluruh)
a. QS Ali Imran [3] : 185 :
Tiap-tiap yang berjiwa akan mengalami mati.
b. QS Al-Baqarah [2] : 29 :
Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada di
bumi untuk kamu.
4. Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang
bersifat syarat.
Contohnya
pada QS Al-Isra [17] : 110 :
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai nama-nama yang baik.
5. Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan
kalimat yang bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi).
Contohnya pada QS Al Bawarah [2] : 48 :
a. QS Al-Baqarah [2] : 48 :
Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang
pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.
b. QS Al-Isra [17] : 23 :
Maka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka.
6. Lafazh masyara, maasyira, ammah, qatibah dan sairun :
a.
QS Al-Anam [6] : 130 :
Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang
kepadamu Rasul-Rasul Kami dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan
ayat-ayat Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari
ini ?
b. QS At-Taubah [9] : 36 :
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya,
sebagaimana mereka pun telah memerangi kamu semuanya.
7. Isim berbentuk jama yang diawali alif dan lam.
Contohnya
pada QS Al-Maidah [5] : 42 :
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.
8. Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
Contohnya
pada QS Ibrahim [14] : 34 :
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah
dapat kamu menghitungnya.
9. Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah)
seperti ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa
[4] : 10 :
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.
10. Amr (perintah) dengan bentuk jama (plural)
Contohnya
pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
rukulah beserta orang-orang yang ruku .
Macam-macam penggunaan lafazh am (umum) :
a. Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada
QS Al-Kahfi [18] : 49 :
Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.
Kata
ahadan tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
QS
An-Nisa [4] : 23 :
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.
Kata
ummhat ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
b. Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)
Contohnya
pada QS Ali Imran [3] : 39 :
Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang
ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.
Lafazh
malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu
Jibril.
c. Am yang mendapat peng-khususan
Contohnya
QS Ali-Imran [3] : 97 :
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah.
Ayat
itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu
bagi yang mampu.
Lafazh Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas
merupakan kebalikan dari Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan
(juziyah) makna.
Takhsis
adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang
umum.
Macam-macam
Mukhashshis (peng khusus).
1. Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
a. Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5
:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat
b. Sifat, contohnya pada QS An-Nisa [4] : 23 :
(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini)
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu
campuri.
Anak
tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi.
Bila belum disetubuhi kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini.
c. Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara
kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara maruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.
Kalimat
jika ia meninggalkan harta yang banyak adalah syarat, maka bila seseorang tidak
meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.
d. Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :
Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum
kurban sampai ditempat penyembelihannya.
Kalimat
sebelum kurban sampai ditempat penyembelihan merupakan batas larangan mencukur
rambut kepala saat haji.
e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS
Ali-Imran [3] : 97 :
Melaksanakan
ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan
kepadanya.
2. Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di
tempat lain;
a. Ayat Al-Quran yang lain.
QS
Al-Baqarah [2] : 228 :
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(ber iddah) tiga kali quru.
Ayat
tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang
sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis
oleh dua ayat (mukhashshish) yang lain, yaitu :
QS
Ath-Thalaq [65] : 4 :
Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu
iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Mukhashshish
kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :
Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali
tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
b. Hadits (men takhsis Al-Quran dengan hadits), contohnya pada
QS Al-Baqarah [2] : 275 :
Dan
Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Dikecualikan
dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut
:
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw
melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang
lain. (HR Bukhari).
Dalam
riwayat lain disebutkan :
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli
(binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan.
Yang demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu
seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu
beranak dan anak onta itu beranak pula.
(HR Muttafaqun alaihi).
c. Ijma (men takhsis Al-quran dengan Ijma).
Contohnya
pada QS An-Nisa [4] : 11 :
Allah mensyariatkan bgimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua anak perempuan.
Ayat
tersebut dikecualikan secara ijma bagi laki-laki yang berstatus budak.
d. Qiyas (men takhsis Al-Quran dengan Qiyas)
Contohnya
QS An-nur [24] : 2 :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.
Ayat
tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang
berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi
perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa
[4] : 25 :
Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas
mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
e. Akal (men takhsis Al-Quran dengan akal)
Contohnya
pada QS Ar-Radu [13] : 6 :
Allah adalah pencipta segala sesuatu.
Akal
menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
f. Indera (men takhsis Al-Quran dengan indera)
Contohnya
: QS An-Naml [27] : 23 :
Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang
memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai
singgasana yang besar.
Indera
kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis)
tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g. Siyaq (Mentakshis Al-Quran dengan siyaq)
Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang
datang sesudahnya.
Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS
Al-Araf [7] : 163 :
Dan tanyakanlah kepada
mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut . ?
Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan
adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud
dengan desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh am, khas dan takhsis :
1. Apabila didalam ayat Al-Quran terdapat lafazh yang bersifat
khas (khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama
tidak terdapat dalil yang mentawilkannya dan menghendaki makna lain.
2. Apabila lafazh itu bersifat am (umum) dan tidak terdapat
dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib
diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang
dicakup makna itu secara mutlak.
3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men
takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah
dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna
yang umum tersebut.
4. Takhsis jenis syarat, ghayah dan sifat tidak dipegangi oleh
kelompok yang menolak mafhum.
5. Ulama Hanafiah berpendapat takhsis Al-Quran dengan hadits
hanya bisa oleh hadits mutawatir.
B. Mujmal (global) Mubayyan
(terjelaskan) Mufassar (ter-tafsirkan)
Salah
satu fungsi hadits adalah sebagai bayan (menjelaskan) lafazh dalam ayat
Al-Quran yang masih mujmal (global). Dengan adanya penjelasan dari hadits maka
lafazh yang mujmal tersebut dapat dipahami maknanya.
Lafazh
mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau
penafsiran (tafsir).
Untuk
memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak
ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syari, karena memang Dia lah yang
menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.
Mubayyan
adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.
Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya
:
1. Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan
yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisa [4] : 176, lafazh
kalalah adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah, Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang
meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua
orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki
dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kalalah
adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang
diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :
Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.
2. Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai
penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan
tersebut terpisah dari dalil mujmal. Dalam hal ini bisa berupa :
a. Dari ayat Al-Quran yang lain, misalnya dalam QS Ali Imran
[3] : 7 :
Padahal tidak ada yang mengetahui tawilnya
kecuali Allah dan orang yang mendalam ilmunya berkata : Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
Kalimat
Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya adalah mujmal karena ambigutias
huruf wawu, yaitu kata dan. Bisa berkonotasi kata penghubung (athaf) atau Kata
depan permulaan kalimat baru (istinaf). Jika kata dan dianggap sebagai kata
penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah hanya Allah dan orang-orang
yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya. Namun, jika kata dan dianggap
sebagai permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah hanya Allah yang
mengetahui takwilnya sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya yang notabene
tidak tahu takwilnya- berkata, kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih.
Oleh karena itu, hal ini memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak
terdapat dalam satu nash, diantaranya firman Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 :
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu.
Ayat
ini menunjukkan Al-Quran diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu kepada
manusia, termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi berdasarkan petunjuk
(qarinah) dari ayat ini huruf dan pada QS Ali-Imran [3] : 7 adalah sebagai kata
penghubung sehingga konotasinya adalah yang mengetahui tawil ayat-ayat
mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.. Demikian
pendapat kelompok yang berpendapat demikian.
b. Dari Sunnah (hadits), contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa
saja yang kamu sanggupi
Kata
kekuatan pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang dari
sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
Saya mendengar Rasulullah bersabda, -sementara itu beliau
masih berada diatas mimbar- Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa
saja yang kamu sanggupi, ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.
Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.
Macam-macam bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada
QS Al-Baqarah [2] : 196 :
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban
atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
Ayat
tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya
mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang
yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.
2. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fili)
Contohnya
Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu :
memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan
cara-cara haji, dsb.
3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman
Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
dan dirikanlah shalat
Perintah mendirikan
sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan
bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah
naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : Sholatlah kalian, sebagaimana kalian
telah melihat aku shalat (HR Bukhary).
4. Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan
tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat
(Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan
kepada petugas zakat beliau.
5. Penjelasan dengan isyarat
Contohnya
seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya
dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh
sembilan hari.
6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan
Contohnya
seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu
yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau
meninggalkannya.
7. Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu
ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu
penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau
memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau
Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih
menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
8. Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).
Mufassar (sudah ditafsirkan)
Mufassar
adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada
kemungkinan tawil yang lain baginya.
Apabila
datang penjelasan (bayan) dari syari terhadap lafazh yang mujmal itu dengan
bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar
(ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat,
zakat, haji dan lainnya.
Macam-macam
mufassar :
1. Mufassar oleh zatnya sendiri
Yaitu
lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk)
yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu
yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya
pada QS An-nur [24] : 4 :
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera.
Kata
delapan puluh adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak
mengandung kemungkinan lebih atau kurang.
Contoh
lain pada QS At-Taubah [9] : 36 :
Perangilah orang-orang musyrik itu semuanya.
Kata
semuanya itu adalah mufassar.
2. Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu
lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash
yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan tawil
lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam,
haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan
lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami
artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.
C. Mutlaq (tanpa batasan) Muayyad
(dengan batasan)
Mutlaq
adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid).
Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
Dan orang-orang yang menzihar istri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib
atas mereka) memerdekakan seorang budak .
Lafazh
budak diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin
maupun kafir.
Muqayyad
adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid).
Contohnya dalam QS An-Nisa [4] :92 :
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh
seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang
siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan
seorang budak yang beriman
Lafazh
budak diatas dibatasi dengan yang beriman
Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
1.
Lafazh yang mutlaq tetap pada ke
mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya).
Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat
mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya.
Contohnya,
pada QS An-Nisa [4] : 11 :
(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.
Wasiat
yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya,
minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits
yang menegaskan bahwa, Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka. Oleh
sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti
diartikan dengan wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.
2.
Sebab dan hukumya sama, maka pengetian
lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contohnya
pada QS Al-Maidah [5] : 3 :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan
daging babi.
Lafazh
darah pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.
Pada
QS Al-Anam [6] : 145 :
Katakanlah, Tidaklah aku peroleh dalam apa apa
yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang
mengalir atau daging babi.
Lafazh
darah pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh yang
mengalir.
Karena
ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh darah yang tersebut pada QS
Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu darah
yang mengalir.
3.
Sebab dan hukum salah satu atau
keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke
mutlaqannya.
a.
Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisa [4] : 43 :
.Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(bersih), usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu
Dalam
hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
Namun
mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku
lafazh
(basuhlah) tanganmu sampai dengan siku adalah muqayyad karena dibatasi sampai
dengan siku.
Kedua
nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu bersuci tapi pada segi hukum
terjadi perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisa [4] : 43 adalah mengusap
tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah membasuh tangan
sampai ke siku.
b.
Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :
Apabila mereka (istri-istrimu) telah mendekati
masa akhir iddahnya, maka rujukilah kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara
kamu.
Lafazh
saksi pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.
Namun
pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :
Apabila kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka
hendaklah kamu menuliskannya dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
laki-laki (diantara kamu).
Lafazh
saksi pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan laki-laki.
Kedua
ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu mengadakan dua orang saksi. Tetapi
pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq [65] : 2 ialah rujuk
pada istri sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah :
hutang-piutang.
c. Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] :
38 :
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya .
Bila
dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka sebabnya
berbeda, pada ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya juga berbeda, pada ayat
ini tentang potong tangan.
Jadi
Hukum lafazh mutlaq - muayyad :
- Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya)
- Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
- Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
4. Kaidah Makna Kata
a. Makna Hakikat yaitu makna lahir. Pada kalimat Singa menerkam
rusa pada lehernyta maka kata singa itu bermakna hakikat yaitu binatang buas.
b. Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada kalimat Singa padang
pasir menerkam musuhnya dengan pedangnya maka kata singa itu bermakna kiasan
untuk seseorang yang dikenal berani.
c. Musytarak yaitu kata yang punya lebih dari satu makna
(ambigu).
Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu
penyebab timbulnya perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa
pada perbedaan pendapat.
(Baca
kembali Ushul Tafsir point VIII)
5. Amr (perintah) dan Nahi (larangan)
Lafazh
amr (perintah) dapat berdampak hukum :
a. Menunjukkan wajib.
b. Menunjukkan sunah.
c. Menunjukkan suruhan saja.
d. Menunjukkan kebolehan
Larangan
(nahi), menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul :
a. Larangan karena diri perbuatan, seperti larangan zina,
larangan wanita haid mengerjakan sholat.
b. Larangan karena sesuatu bagian perbuatan, seperti larangan
menjual anak binatang yang masih dalam perut induknya.
c. Larangan lantaran sesuatu sifat yang tidak dapat lepas,
seperti larangan puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena sudah
menjadi sifat yang melekat pada hari raya untuk makan-minum, mengadakan jamuan.
d. Laranga karena sesuatu sifat yang tidak lazim, seperti
jual-beli sesuatu sesudah azan sholat Jumat dikumandangkan.
(Baca
kembali Ushul Tafsir point VII)
6. Pertentangan dan Kompromi Antar Dalil
a. Taarudl
Yaitu pertentangan antar dalil, berkata Imam Abdul Wahhab
Khallaf :
Apabila bertentangan
dua nash pada lahirnya, wajiblah kita ber-ijtihad untuk menggabungkan dan
mengkompromikan antara keduanya. Jika tak dapat dilakukan hendaklah kita
ber-ijtihad untuk mentarjihkan (menentukan yang lebih kuat) salah satunya.
Kalau tak dapat ditarjihkan salah satunya, tetapi diketahui mana yang terdahulu
dan mana yang terkemudian, maka hendaklah yang terkemudian dipandang menasakh
yang terdahulu. Jika tak dapat diketahui kedua-duanya maka ditangguhkan.
b. Kompromi
Firman
Allah pada QS Al-Baqarah : 180
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara
kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya yang dekat
Firman
Allah pada QS An-Nisa : 11
Allah memerintahkan kepadamu terhadap
anak-anakmu, yaitu : (warisan) bagi lelaki adalah seperti bagian dua wanita ..
Ayat pertama mewajibkan berwasiat bagi orang yang akan
meninggal sedangkan ayat kedua mewajibkan aturan hukum waris bagi orang yang
meninggal. Secara sepintas sepertinya kedua ayat tersebut saling betentangan
padahal tidak, karena bisa dikompromikan, yaitu kewajiban berwasiat itu apabila
meninggalkan harta warisan yang banyak dan maksimal senilai sepertiga dari
hartanya untuk orang-orang yang tidak berhak mendapat warisannya. Sedangkan
hartanya yang tidak termasuk dari yang diwasiatkan harus dibagi kepada ahli
waris sesuai aturan hukum waris dalam syariat Islam.
c. Tarjih
Yaitu
bila ada dua dalil yang saling bertentangan maka ditentukan mana dalil yang
lebih kuat (rajih) dan mana yang lebih lemah (marjuh).
Prinsip-prinsipnya
:
1. Al-Quran lebih kuat dari Hadits
2. Hadits Mutawatir lebih kuat dari hadits Masyhur
3. Hadits Masyhur lebih kuat dari hadits ahad
4. Hadits sahih lebih kuat dari hasan lebih kuat dari dhaif.
5. Hadits Mutafaq alaih (diriwayatkan Bukhari dan Muslim) lebih
kuat dari Bukhari saja dan atau muslim saja.
6. Hadits Marfu (disandarkan kepada Nabi) lebih kuat dari
hadits mauquf (disandarkan hanya kepada Sahabat)
7. Sanad yang tinggi lebih kuat dari sanad yang lebih rendah.
8. Apabila berlawanan antara yang mengharamkan dengan yang
memubahkan ditarjihkan yang mengharamkan (untuk kehati-hatian).
9. Apabila berlawanan anatara yang menghalangi dengan yang
menghendaki, didahulukan yang menghalangi.
10. Mempelajari asbabun nuzul atau asbabul wurudnya.
(Baca kembali Ilmu Hadits, point Mukhtaliful Hadits)
d. Nasakh
Apabila tidak dapat dikompromikan atau ditarjihkan, bila
diketahui mana yang datang terdahulu dan mana yang datang terkemudian, maka
dalil yang terkemudian menasakh yang terkemudian.
1. Nasakh Sharih, bila ada penyataan tegas menyatakan nasakh,
seperti pada hadits Nabi SAW :
Aku dahulu melarangmu dari
menziarahi kubur, (maka sekarang) ziarahilah kubur karenaitu mengingatkan kamu
kepada akhirat.
2. Nasakh Dlimmy, menetapkan hukum yang berlawanan dengan hukum
sebelumnya.
(Baca kembali Ushul Tafsir point V)
D. Qowaid Fiqiyah (Kaidah Fiqih)
Setiap yang mempelajari ushul fikih akan menjumpai kaidah
fiqih yaitu kalimat singkat berupa kaidah umum yang dipetik dari Al-Quran dan
Hadis yang bersesuaian dengan juziyyah (bagian-bagian) yang banyak yang
dengannya dapat diterapkan hukumnya pada masalah furu (cabang).
Jadi Kaidah Fikih ini akan membantu menyimpulkan hukum fikih
suatu masalah. ulama ushul fikih berkata :
Apabila kaidah-kaidah fikih kokoh terhujam didada mudah dan
lancarlah lidah menuturkan furu (hukum fikih)
Kaidah Fikih Global :
Mengambil maslahat dan
menolak masfadat
Kaidah Pokok, ada 5 (lima) yang kepadanya dapat dikembalikan
hampir semua masalah furu yang banyak.
Kaidah Pokok ke-1 : segala sesuatu
bergantung kepada niat
Dasarnya hadis nabi Sesungguhnya segala amal hanyalah menurut niatnya dan
sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah memperolah apa yang diniatkannya
Kaidah Pokok ke-2 : yang yakin tidak
dapat dihilangkan oleh yang masih ragu
Dasarnya hadis nabi Apabila seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam
perutnya, kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah
belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapat
bau
Apabila seseorang dari kamu ragu
ragu didalam sholatnya, tidak tahu sudah berapa rokaat yang telah dikerjakan
apakah tiga rokaat atau empat rokaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan
berpeganglah kepada apa yang meyakini.
Kaidah Pokok ke-3 : Dalam kesempitan
ada kelapangan
Dasarnya QS Al-Baqoroh :185 : Allah menghendaki
kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu.
QS Al-Haj :78 : Dan Dia tidak menjadikan untuk kamu kesukaran
dalam agama Hadis nabi Agama itu mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama
yang benar dan mudah
Hadits nabi : Mudahkanlah jangan dipersukar.
Kaidah Pokok ke-4 : Kemudhorotan
harus dihilangkan
Dasarnya Firman Allah Dan janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di
muka bumi
dan ayat Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat
kerusakan
kemudian hadis nabi tidak boleh membuat kemudhorotan pada diri sendiri dan
membuat kemudhorotan pada orang lain
Kaidah Pokok ke-5 : Adat dapat
dijadikan hukum
Dasarnya ayat Dan bergaullah dengan mereka (manusia) secara patut dan hadis nabi Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula
disisi Allah
Dari lima kaidah pokok diatas terdapat ratusan kaidah kaidah
cabang yang lain, diantaranya (yang popluer dan sering digunakan) adalah :
1. Menolak masfadat lebih diutamakan daripada mengambil
manfaat.
2. Mudhorot khusus (kecil) harus ditempuh untuk
menghindarkan mudhorot umum (besar).
3. Bila harus memilih antara dua mudhorot maka pilih yang
paling kecil.
4. Bila untuk melaksanakan yang wajib memerlukan sarana,
maka mengadakan sarana itu juga wajib.
5. Jalan yang menuju haram juga haram.
6. Kemudhorotan harus dihilangkan dan jalan yang menuju
kearahnya harus ditutup.
7. Bila tidak bisa melaksanakan semuanya maka jangan
ditinggalkan seluruhnya.
8. Hukum asal segala sesuatu mubah/boleh sampai ada dalil
yang jelas melarangnya.
9. Hukum asal masalah ibadah makdoh haram sampai ada
dalil/contoh yang menyuruhnya.
10. Apabila berkumpul dua perkara yang sejenis maka yang
satu masuk kepada yang lain.
11. Hukum* dapat berubah menurut perubahan jaman. (* yang
dimaksud disini hukum masalah furu (cabang) yang dzanni dan masalah-masalah
muamalah-keduniaan bukan masalah ushul dan atau yang qothi)
12. Hak keuntungan ada bersama resiko menanggung kerugian.
13. Menolak (preventif) lebih utama dari mengangkat
(kuratif).
14.
Yang lebih kuat meliputi yang lemah, bukan sebaliknya.
E. Sumber Hukum Sekunder
3. Ijma
Ijma
adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah SAW,
terhadap suatu hukum syara yang bersifat praktis amaly.
Dalil
yang menjadi dasar Ijma :
Firman
Allah dalam QS An Nisa [4] : 59
Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri
(pemegang urusan) diantara kamu.
Taatilah Allah merujuk kepada Al-Quran.
Taatilah Rasul merujuk kepada sunnah (hadits)
dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu merujuk kepada
Ijma (konsensus) Ulil-Amri.
Hadits
Nabi :
Apa yang dipandang baik oleh kaum
muslimin, maka baik pula dalam pandangan Allah.
Umatku tidak akan bersepakat dalam
kesesatan.
Ingatlah, barangsiapa yang ingin menempati
surga, maka bergabunglah (ikutilah) jamaah, karena syaitan adalah bersama
orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih juah dari dua orang, daripada dari
pada dari pada seorang yang menyendiri.
a. Ijma Sahabat
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum
diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para
sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah
tersebut, bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar
memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits
maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan
kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu
Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat
Nabi semuanya masih berada di Kota Mekkah. Ijma sahabat pada masa khalifah Abu
Bakar dan Umar inilah yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh
seluruh kaum muslimin.
b. Ijma Ulama Mujtahid
Para sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah
pada saat Khalifah Usman bin Affan dengan tujuan mengajarkan agama pada
kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota
yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya
masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan
mujtahid dari generasi tabiin dan tabiit-tabiin.
Masing-masing imam mujtahid tidak mengeluarkan pendapat yang
sama sekali menyalahi pendapat ulama negerinya, agar tidak dianggap aneh.
Lantaran Itu Imam Abu Hanifah menghargai Ijma ulama Kufah, begitu pula Imam
Malik menghargai ijma ulama Madinah.
Tingkatan Ijma :
a. Ijma Sharih, jika semua ulama menyatakan kesepakatannya.
b. Ijma Sukuti, jika seorang mujtahid menyampaikan pendapatnya,
kemudian pendapatnya tersebut diketahui oleh seluruh ulama yang hidup semasa
dan tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari pendapatnya, artinya ada juga
yang mendiamkannya. Ijma sukuti ini masih diperdebatkan apakah dapat dijadikan
hujjah, karena diamnya seseorang ulama belum tentu menyatakan kesepakatannya,
bisa jadi sedang memikirkannya.
4. Qaul Sahabi (Perkataan
Sahabat Nabi)
Firman Allah dalam QS At-Taubah :
100 :
Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama
(masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha
kepada Allah.
Hadits Nabi :
Saya
adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian
umatku.
Diantara metode ijtihad Imam Abu Hanifah adalah : Bila ada konsensus pendapat dari
sahabat maka saya ambil, bila ada perbedaan pendapat diantara para sahabat,
maka saya pilih. Bila ada pendapat dari tabiin maka saya teliti.
5. Qiyas
Qiyas adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu yang
mirip atau serupa dengan yang telah ada nash nya dalam Al-Quran atau Hadits.
Contohnya menyamakan hukum segala minuman yang memabukkan dengan hukum khamr
(arak).
Dasar kehujjahan Qiyas :
a. Firman Allah dalam QS An Nisa [4] : 59
Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri
(pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara
maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.
Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya merujuk kepada
Qiyas, maksudnya bandingkanlah (qiyas-kanlah) dengan yang dekat dan serupa
dengan yang telah ada pada kitab Allah (Al-Quran) dan atau Sunnah Rasul-Nya
(Hadits).
b. Firman Allah dalam QS Al-Baqarah : 179 :
Dan dalam qisash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu.
Dalam ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) disyariatkannya
qishas adalah agar ada jaminan hidup bagi manusia.
c. Firman Allah dalam QS Al-Maidah : 91 :
Sesungguhnya syaitan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sholat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Dari ayat diatas tampak bahwa illat (sebab)
diharamkannya judi dan meminum khamr adalah karena menimbulkan permusuhan dan kebencian,
juga karena menghalangi manusia dari mengingat Allah.
d. Hadits Hadits Nabi :
1. Dari Umar bin Khatab : Hari ini aku
telah melakukan perkara besar, yakni mencium istriku, sedang aku sedang
berpuasa. Lalu Rasulullah bersabda : Bagaimana menurut pendapatmu andaikata
kamu berkumur-kumur padahal kamu sedang berpuasa ?. Hal itutak mengapa,
jawabku. Maka mengapa (kamu menanyakan) ? Jawab Rasulullah. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Riwayat diatas menunjukkan bahwa Rasulullah meng qiyaskan
mencium istri ketika berpuasa dengan berkumur-kumur ketika berpuasa. Keduanya
mengandung persamaan illat yaitu mendekati membatalkan tapi belum sampai pada
tahap membatalkan.
2. Seorang wanita dari qabilah Juhainah
menghadap Nabi, seraya ia berkata : Ya Rasulullah, ibuku telah bernadzar untuk
mengerjakan haji, akan tetapi ia tak sempat mengerjakan haji sampai ia
meninggal dunia. Apakah saya berkewajiban mengerjakan haji untuknya ?. Benar,
jawab Nabi. kerjakan haji untuknya. Tahukah kamu andaikata ibumu mempunyai
hutang, bukankah kamu yang paling patut melunasinya ? Ya, jawabnya. Rasulullah
berkata : Tunaikan hutang-hutang Allah, sebab hak Allah lebih berhak untuk
dipenuhi . (HR Bukhary dan Nasai).
Riwayat diatas menunjukkan Nabi meng qiyaskan nadzar kepada
Allah yang belum dipenuhi dengan hutang kepada sesama manusia.
e. Surat Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al Asyari yang
menjabat sebagai gubernur Basrah :
Lihatlah banyak hal-hal yang serupa dan setara, maka
qiyaskanlah hal-hal yang semacam itu.
Rukun
Qiyas ada 4 (empat) yaitu :
1. Asal, yaitu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya pada
nash Al-Quran dan hadits.
2. Furu, yaitu cabang yang hukumnya disamakan dengan hukum
asal.
3. Hukum, yaitu hukum yang sudah diketahui pada asal.
4. Illat, yaitu sebab yang sama yang menyebabkan hukum asal
dapat disamakan juga pada hukum furu.
Syarat-syarat
qiyas :
a. Hukum asal tidak dinasakh.
b. Hukum asal jelas nashnya.
c. Hukum asal dapat diterapkan pada qiyas.
d. Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.
e. Mempunyai illat yang sama.
f. Hukum cabang sama dengan hukum asal.
g. Ada illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum.
h. Illat tidak boleh bertentangan atau menyalahi syara.
Macam-macam
Qiyas :
1. Qiyas Aula / Awlawi / Qathi
Yaitu qiyas hukum yang diberikan kepada asal lebih patut
diberikan kepada cabang.
Contoh, Nabi bersabda :
Kedua mata itu tali pengikat lubang dubur, maka apabila mata
telah tidur terlepaslah tali.
Kita pahamkan bahwa gila, pingsan, mabuk dan segala yang
menghilangkan akal lebih patut membatalkan wudhu.
2. Qiyas Musawi
Yaitu mengqiyaskan sesuatu kepada suatu yang bersamaan
kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut.
Contohnya dalam QS An-Nisa : 25 :
Maka atas mereka
(budak-budak wanita) separoh hukuman dari yang dikenakan atas wanita-wanita
yang merdeka.
Kita pahamkan bahwa menurut irama pembicaraan
hukuman dera budak laki-laki kita qiyaskan dengan hukum budak wanita yaitu
separoh dari hukuman dera laki-laki yang merdeka.
3. Qiyas Adna / Adwan
Yaitu meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum
yang diberikan kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu.
Misalnya kita mengqiyaskan haramnya nabiz (rendaman lain
dari anggur) kepada khamr (arak anggur) karena illatnya sama sama memabukkan.
4. Qiyas Dalalah
Yaitu qiyas yang menunjuki kepada hukum, berdasar dalil
illat atau mengumpulkan asal dengan cabang berdasar kepada dalil illat.
Misalnya mengqiyaskan ahrta anak kecil dalam soal wajib
dizakati kepada harta orang dewasa atas dasar illatnya sama-sama harta yang
berkembang.
5. Qiyas Illah
Yaitu
qiyas yang tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang dan illat itulah
yang menyebabkan hukum pada asal.
6. Qiyas fi Manal Ashli
Yaitu qiyas yang tidak tegas illatnya yang mengumpulkan asal
dengan cabang.
Misalnya mengqiyaskan kadar hukuman dera buda laki-laki
kepada budak wanita dengan illat sama-sama budak.
7. Qiyas Syabah
Yaitu qiyas yang menjadi washaf (sebab illat) yang
mengumpulkan antara cabang dengan asal hanyalah penyerupaan atau cabang yang
pulang pergi dua asal, yaitu yang dapat diserupakan dengan dua asal, lalu
dihubungkan dengan yang banyak persamaannya.
Misalnya, seorang budak ketika merusakkan sesuatu dalam
membayar ganti rugi, berubah status antara sebagai manusia karena ia anak
keturunan Adam dan binatang, karena ia dipandang sebagai harta yang dapat
diperjual-belikan dan diwakafkan.
8. Qiyas Jali
Qiyas
yang illatnya baik dinashkan atau tidak, namun perbedaan pemisah antara asal
dan furu diyakini tidak berbekas.
Misalnya,
mengqiyaskan haramnya mencaci, memukul orang tua kepada keharaman mengucapkan
cis, dengan illat sama-sama menyakitkan bagi keduanya.
9. Qiyas Khafi
Qiyas
yang illatnya dipetik dari hukum asal.
Misalnya,
mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat dengan benda tajam.
10. Qiyas Sabri wattaqsim
Qiyas
yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian yang mendalam.
Misalnya,
mengqiyaskan jagung kepada gandum dengan illat sama-sama makanan pokok yang
mengenyangkan dan sama sama ditimbang.
11. Qiyas Thardi
Qiyas
yang dikumpulkan antara asal dengan cabang oleh suatu sebab yang adanya hukum
beserta wujudnya sebab itu, bila sebab hilang maka hukumnya juga hilang.
12. Qiyas Aksi
Tidak
ada hukum bila tidak ada illat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang
sepertinya karena keduanya itu berlawanan dengan tentang illatnya.
Contohnya,
hadits Nabi :
Dan pada kemaluan seseorang kamu ada
sedekah. Para Sahabat bertanya : Apakah kami memuaskan syahwat dan memperoleh
pahala ? Jawab Nabi : Bagaimana pendapatmu jika dia meletakkan syahwatnya pada
yang haram, adakah dia berdosa ?, demikianlah apabila ia meletakkan pada yang
halal, ada pahala baginya. (HR Muslim).
13. Qiyas Ikhlati wal Munasabati
Qiyas yang menetapkan illat berdasarkan munasabah, yakni
kemaslahatan memelihara dasar maksud.
a. Qiyas Muatstsir
Qiyas yang illatnya mengumpulkan antara asal dengan cabang
dinashkan dengan terang atau dengan isyarat atau dengan ijma.
Misalnya firman Allah QS
An Nur : 27 :
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta ijin
dan memberi salam kepada penghuninya.
Sehubungan dengan ayat ini, maka Rasululah bersabda : Ijin dilakukan semata-ata untuk
kepentingan (keselamatan) mata.
b. Qiyas bekas sebab
Misalnya
dibenarkan menjama shalat dimasa hujan. Tidak ada keterangan bahwa hujan itu
menjadi sebab, akan tetapi ada keterangan bahwa safar menjadi sebab bolehnya
jama. Maka dipahamkan bahwa sebab disini adalah hujan.
14. Qiyas Mulaim
Qiyas yang jenis sebabnya memberi bekas pada jenis hukum.
Misalnya, wanita yang ber haid tidak perlu mengqadha
shalatnya, karena menimbulkan kesukaran. Kesukaran ini tidak ada keterangannya
dari nash. Akan tetapi ada keterangan dari syara bahwa kesukaran itu
meringankan hukum.
15. Qiyas Munasib Gharib
Qiyas yang dibina atas illat yang tidak tegas syara
membolehkan atau menolaknya.
Misalnya, wanita yang ditalak tiga saat suami menjelang mati
dapat menerima warisan karena kita lawan maksudnya dengan mengqiyaskan kepada
pembunuhan agar cepat mendapat warisan, maka si pembunuh tidak mendapat
warisan.
F. Sumber Hukum Tersier (digunakan untuk masalah juziyah
(parsial), furuiyah (cabang) yang jauh).
6. Istihsan
yaitu : keluar dari nash karena sebab yang lebih kuat,
contoh : menurut qiyas sumur yang kena najis harus disiram air, tapi hal itu
tidak memungkinkan maka pen suciannya dengan menimba air sumur
7. Mashlahah mursalah
Yaitu keluar dari Qiyas kulli karena pertimbangan memelihara
hukum syara dengan jalan mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh :
dibolehkan memenjara atau meng intimidasi terdakwa untuk memperoleh pengakuannya.
8. Istihshab
Yaitu mengekalkan hukum yang telah ada, tidak bisa berubah
karena sesuatu yang masih ragu., contoh : seseorang yang pada mulanya punya
wudhu kemudian ragu ragu apakah dia telah batal apa belum, maka hukumnya dia
dianggap masih punya wudhu.
9. Istidlal
Yaitu pertalian antara dua hukum tanpa menentukan illat
(persamaan penyebabnya), contoh : seseorang sholat dengan memenuhi syarat dan
rukunnya, tapi kemudian diketahui dia tidak punya wudhu, maka karena dia tidak
punya wudhu sholatnya juga tidak syah.
10.
Sadudz Dzariah
Yaitu mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk
menolak kemudhorotan atau menyumbat jalan yang menuju kemudhorotan. Contoh :
Zina itu haram, maka melihat aurat wanita, berduaan dengan lawan jenis bukan
mahram ditempat sepi, bacaan porno itu juga haram karena semua itu jalan menuju
zina
11.
Urf
yaitu kebiasaan yang tetap pada jiwa manusia diterima oleh
akal dan tidak menyalahi syara, contoh = sudah menjadi urf (kebiasaan) bahwa
harga bahan bangunan adalah sudah termasuk ongkos kirim, bila ada penjual
ketika mengirimkan bahan bangunan ke tempat pembeli masih menagih ongkos kirim,
maka hakim dapat menolak gugatan penjual berdasarkan Urf.
12.
Adah
yaitu sesuatu yang dikehendaki manusia pada umumnya dan
berlaku terus menerus
13.
Taamul
yaitu adat-istiadat kebiasaan dalam pergaulan mumalah
manusia
14.
Baraah Ashliyah
yaitu : bebas dari hukum yang memberatkan
15.
Istiqra
yaitu memeriksa seteliti mungkin berbagai juziyah supaya
dapat dihukumkan dengannya, contoh = seluruh sholat fardhu nabi tidak pernah
dilakukan diatas kendaraan, suatu ketika rosul pernah sholat duha diatas
kendaraan, maka dipahami bahwa sholat duha itu hukumnya sunnah.
16.
At-Taharri
yaitu mempergunakan segala kemampuan akal untuk mencapai
ketaatan
17.
Ar Rujuu ilal manfaati wal madharrah
yaitu menetapkan hukum berdasarkan manfaat dan mudhorot
18. Al Qaulu bin nushush wal ijmaaI fil ibadati wal muqaddarati
wal qaulu bi itibaaril mashalih fil muaamalati wabaqil ahkami
yaitu menetapkan hukum dengan nash dan ijma thd soal yg
pokok dan berdasarkan kemaslahatan pada urusan cabang, contoh = para sahabat
tidak menentang sitem Monarki Muawiyah krn takut terjadi perpecahan kaum
muslimin
19.
Taghyirul Ahkam bi taghaiyuril ahwali wal azman
Yaitu
berubahnya hukum (masalah furu, muamalah, duniawiyah) karena berubahnya keadaan
dan jaman.
Yang mula-mula dan menjadi panutan dalam masalah ini adalah
Khalifah Umar bin Khattab yang memerintahkan sholat Tarawih berjamaah dibawah
satu imam dengan pertimbangan lebih teratur dan tertib, tidak memberi zakat
kepada muallaf (orang yang baru masuk Islam) dengan pertimbangan Islam sudah
kuat, tidak membagikan tanah daerah taklukan kepada prajurit yang menaklukkan
demi kepentingan kemaslahatan generasi yang kemudian, tidak memotong tangan pencuri
pada saat paceklik dan kelaparan dengan pertimbangan keadaan kesulitan ekonomi.
20.
Al akhdzu bil akhaffi (al akhdzu biaqalli) maa qila
yaitu berubahnya hukum karena berubahnya masa dan keadaan,
contoh = Umar tidak memberikan zakat kepada para Muallaf karena Islam sudah
kuat, bila mereka murtad maka dibunuh
21.
Al Ishmah
yaitu menjadikan hujjah perkataan orang yang mendapat hak
menetapkan hukum syara, contoh = Rosul memberikan hak kepada Saad Bin Muaz
untuk menentukan hukuman bagi pengkhianatan Bani Quraizah.
22.
Syaru man qablana
yaitu : hukum syariat orang sebelum kita, apabila disebutkan
dalam nash maka juga menjadi syariat kita.
23.
Al amalu bidhadhahir awil adhar
yaitu beramal dengan prioritas memegangi nash yang lahir
24.
Al akhdzu bil ihtiyath
yaitu memegangi mana yang lebih kuat dari dua dalil
25.
Al Qurah
yaitu menetapkan hukum berdasarkan undian, untuk mencegah
saling berbantah-bantahan
26.
Al amalu bil ashli
yaitu mengamalkan dalil yang lebih rajih (kuat).
27.
Maqulun nash
yaitu mengamalkan dari apa yang dipahami dari nash, bila
tidak dapat ditafsirkan secara tekstual maka dibawa ke makna majasi.
28.
Syahadatul qalbi
yaitu dengan memperhatikan suara hati nurani, dasarnya hadis
nabi : “mintalah fatwa kepada hatimu”
29.
Tahkimul hal
yaitu menyerahkan keputusan kepada keadaan sekarang yang
sedang berlaku
30.
Umumul balwa
yaitu membolehkan sesuatu yang sulit melepaskan diri atau
selalu terjadi
31.
Al amalu bi aqawasy syabahaini
yaitu memegangi mana yang lebih kuat kemiripannya, contoh
menentukan orang tua anak dengan melihat kemiripannya
32.
Dalalatul iqtiran
yaitu menyamakan hukum karena bergandengan dengan yang lain,
contoh = imam malik tidak mewajibkan zakat pada kuda karena ada ayat “dan kuda
dan bighal dan keledai”
33.
Dalalatul ilhami
yaitu sesuatu yang diperoleh dari ilham, disyaratkan pada
orang yang taqwa dan soleh
dasarnya hadis nabi “berhati hatilah dengan firasat orang
mukmin karena mereka melihat dengan cahaya Allah”
34.
Ruyan nabi
yaitu berpegang kepada apa yang dikatakan nabi dalam mimpi,
dasarnya hadis nabi : “mimpi seorang muslim itu 1/46 kenabian”
35.
Al akhdzu bi aisari maa qilaa
yaitu mengambil mana yang paling mudah dari dua pendapat
36.
Al akhdzu bi aktsari maa qilaa
yaitu mengambil jumlah yang lebih banyak dari jumlah yang
berbeda beda
37.
Faqdud dalil badal fihshi
yaitu menetapkan tidak ada hukum atas sesuatu lantaran tidak
diperoleh dalil yang mewujudkansesuatu hukum sesudah dilaksanakan pembahasan
yang luas.
X. Maqashid Syariah (Tujuan Syara)
Melalui
penelitian yang mendalam akan diketahui bahwa semua syariat agama mengandung
maksud, tujuan dan hikmah bagi kepentingan hamba. Semua perintah dan larangan
dalam syariat agama mengandung kemaslahatan, baik yang mudah diketahui maupun
yang belum diketahui karena akal manusia tidak mampu memahaminya.
Tuhan
tidak mensyariatkan hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah. Syara
bermaksud dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum. Kita
tidak dapat memahami hakikat nash terkecuali jika kita mengetahui apa yang
dimaksud oleh syara dalam menetapkan nash-nash syariat itu. Harus diingat bahwa
petunjuk-petunjuk lafazh dan ibarat-ibaratnya kepada makna yang kadang-kadang
mempunyai lebih dari satu penafsiran makna. Untuk mentarjih penafsiran makna
yang lebih tepat maka perlu memahami maksud syara (maqashid syariah).
Segala
hukum muamalah, akal dapat mengetahui maksud-maksud syara dalam menetapkan
hukum yaitu berdasarkan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menolak
masfadat terhadap mereka. Jadi segala yang membawa manfaat-maslahat adalah
mubah dan segala yang membawa mudharat-masfadat adalah haram.
Ibnul
Qayyim berkata :
Dasar syariat ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di
akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya rahmat dan semuanya mengandung hikmah.
Tiap masalah yang keluar dari adil kepada curang, dari rahmat kepada bala, dari
maslahat kepada masfadat, dari hukmah kepada sia-sia maka bukanlah syariat.
Syariat itu adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat Allah diantara
makhluk-nya dan bayangan Allah dibumi-Nya dan himah-Nya yang menunjukkan
kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nya.
Maksud-maksud syara yang umum :
1. Memelihara segala yang dharuri (esensial dan fital) bagi
manusia dalam kehidupan mereka, yaitu :
a. Memelihara Agama (dien).
b. Memelihara Nyawa (nafs).
c. Memelihara Akal (aqlu).
d. Memelihara Nasab-keturunan (nasl).
e. Memelihara Harta (mal).
Apabila yang dharuri ini tidak terpelihara maka kacaulah
tatanan kehidupan, timbullah kekacauan dan kerusakan yang merata.
2. Menyempurnakan segala yang dihajati manusia.
Yaitu segala yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan
untuk dapat menanggung kesukaran-kesukaran pembebanan (taklif) dan beban-beban
hidup. Tetapi bila urusan itu tidak diperoleh, tidaklah rusak tatanan hidup dan
tidak merata kekacauan, hanya mengalami kesempitan dan kesukaran saja.
Segala yang dihajati dalam pengertian ini meliputi segala
yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, tata sosial kehidupan,
kemudahan-kenyamanan hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh maka
tiada cedera tatanan kehidupan, hanya saja dipandang tidak baik oleh akal yang
sehat dan fitrah yang sejahtera.
Tingkatan Maksud Syara
1. Tingkat Dharuriyah.
Yaitu tingkat yang harus ada, tidak boleh tidak ada. Apabila
tidak difardhukan pokok-pokok ibadat maka manusia akan lupa dan berpaling dari
Tuhan dan agama. Apabila tidak disyariatkan kita memrangi orang-orang yang
merusak agama dan memaksa kembali orang yang murtad, tentu rusaklah urusan
agama dan hilanglah pemeliharaannya.
Apabila tidak dihalalkan benda-benda yang baik untuk
dimakan, diminum dan dipakai dan apabila tidak disyariatkan nikah dan
pokok-pokok muamalah serta tidak difardhukan hukum-hukum jinayah maka akan
hilang maslahat tertentu untuk memelihara jiwa, akal, keturunan dan kehormatan.
Apabila tidak disyariatkan pokok-pokok hukum yang berkenaan
dengan hak milik dan penukaran manfaat serta tidak didakan hukum membayar
barang yang kita rusakkan dan tidak disyariatkan hukuman untuk pencurian,
perampokan tentu rusak maslahat harta.
2. Tingkat Hajiyah
Yaitu segala yang kita hajati untuk memperoleh keluasan
hidup dan menolak kesempitan.
Umapamanya untuk memelihara agama kita dibolehkan mengqashar
shalat ketika dalam safar atau menjama ketika sedang ada udzur yang syari.
3. Tingkat Tahsiniah.
Yaitu tingkat yang paling rendah, dengan hilangnya tingkat
ini tidak menghilangkan tingkat asli serta tidak menimbulkan kepicikan dan
kesukaran dalam hidup. Tingkat ini masuk bagian kesempurnaan untuk memelihara
akhlak-akhlak tinggi dan adat-adat yang baik.
XI. Masalah Ushul (pokok) Furu (cabang)
A. Masalah Ushul (pokok)
Masalah
Ushul (pokok) adalah masalah yang menyangkut Itikad (keyakinan) dalam urusan : akidah,
tauhid dan rukun iman yang enam. Dalil-dalil dari Al-Quran maupun hadits
yang menerangkan hal ini semuanya adalah muhkam (tidak ada kemungkinan
penafsiran lain) dan sharih (jelas petunjuk lafaznya) dan Qathi (pasti).
Seorang
muslim dalam masalah ushul ini harus benar Itikadnya (keyakinannya). Salah
dalam Itikad masalah ushul bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir keluar dari
Islam. Jadi dalam masalah ushul yang ada adalah
iman atau kafir.
Contoh-contoh
masalah ushul :
a. Tidak ada tuhan selain Allah.
b. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan.
c. Allah satu satunya tempat bergantung.
d. Tauhid Rububiyah (meyakini Allah satu satunya pencipta)
e. Tauhid Uluhiyah (meyakini Allah satu satunya yang disembah
dan diibadahi)
f. Tauhid Mulkiyah (meyakini Allah satu satunya yang mengatur,
memelihara, memberi rejeki seluruh makhluk-Nya).
g. Mengimani kebenaran dan kesucian Al-Quran.
h. Mengimani kebenaran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang maksum.
i. Mengimani Malaikat-malaikat Allah
j. Mengimani adanya akhirat (alam kubur, mashar, shirot,
surga-neraka)
k. Mengimani adanya takdir yang baik dan buruk.
l. Dan lain-lain.
(Lihat
kembali Ilmu Kalam point terakhir)
Masalah
ushul yaitu akidah ibarat akar yang merupakan dasar bagi sebuah pohon,
Itikad-tauhid merupakan satu batang lurus yang tidak bercabang-cabang yang
merupakan penopang.
Jadi
tidak boleh ada variasi, perbedaan pendapat dan ijtihad dalam masalah ushul ini. Bila ada yang berani berbeda pendapat, mengotak-atik
masalah ushul ini maka harus ditentang dan tidak ada toleransi dalam hal ini.
Itu sebabnya para ulama sangat keras dan mencelah para pelaku bidah akidah
seperti kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah,
Musyabbihah, Muatillah (baca kembali Ilmu Kalam).
Kelompok
sempalan dalam masalah Ushul (akidah) inilah yang dimaksud kelompok yang binasa
oleh hadits Nabi :
Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara
golongan-golongan itu yang selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya
adalah binasa. Para sahabat bertanya : Siapakah golongan yang selamat itu ?
Nabi menjawab : golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah, para sahabat bertanya lagi,
Apakah golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu ? Nabi menjawab : Yaitu yang
mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan para
sahabatku
B. Masalah Furu (cabang)
Masalah
Furu (cabang) adalah semua hal diluar masalah ushul, seperti rincian praktek
tata cara ibadah, muamalah, urusan duniawi, dsb. Begitu luasnya cakupan masalah
furu ini yang berhubungan dan menyentuh hampir seluruh aktivitas kehidupan
seorang muslim. Dalam masalah furuiyah ini tidak semua dalil-dalil hukumnya
muhkam dan sharih, bahkan banyak yang masih mujmal, masih am (umum), masih
mutlaq tanpa penjelasan (bayan), masih musytarak (mengandung lebih dari satu
arti), petunjuk lafazh dan cakupan lafazhnya tidak sharih (tidak jelas),
memungkinkan timbul multi penafsiran dan sebagainya.
maka
dalam masalah furuiyah ini sering terjadi ijtihad dalam meng istinabtkan
hukumnya. Dari sinilah sering terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama
dan muijtahid. Jadi dalam masalah furu yang ijtihadi ini hendaknya setiap
muslim bersifat saling ber toleransi yaitu mengikuti mana yang dianggap paling
baik diantara pendapat-pendapat yang ada, tidak memaksa orang lain mengikuti
pendapatnya dan membiarkan (tidak mencelah) orang lain yang tidak sependapat. Dalam masalah furu yang ijtihadi ini yang ada adalah benar
dan salah. Bila benar dapat dua pahala, bila salah dapat satu pahala.
Contoh-contoh
masalah Furu
a. Detail tata cara sholat
b. Fiqih Zakat
c. Fiqih Puasa
d. Fiqih Haji
e. Fiqih Jual-Beli
f. Fiqih Sewa-Menyewa
g. Fiqih muamalah
h. Urusan duniawiyah
i. Dan lain-lain.
Masalah
furu itu ibarat ranting, dahan dan cabang dalam sebuah pohon, yang tentunya
tidak harus satu (sebagaimana batang pohon / akidah) melainkan ada banyak ragam
cabang. Jadi dalam masalah furu boleh ada ijtihad, boleh ada variasi, dan
boleh ada perbedaan pendapat.
XII. Dalil Qathi (pasti) Dzani (dugaan)
A. Dalil Qathi (pasti)
Dalil disebut Qathi (pasti) apabila
memenuhi dua persyaratan :
1. Qathi wurudnya (sumbernya) yaitu : Al-Quran dan Hadits
Mutawatir
2. Qathi dhalalah-nya (petunjuk lafazhnya) yaitu : muhkam
(tidak ada kemungkinan multi penafsiran) dan sharih (jelas).
Bila
suatu dalil dari Ayat Al-Quran dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat
dalil Qathi diatas maka menjadi dalil Qathi yang sempurna, maka hukumnya
harus diterima bulat-bulat, tanpa reserve. Tidak boleh ada ijtihadi lagi dan
tidak boleh diotak-atik, tidak boleh ditambah-dikurangi.
Kebanyakan
masalah Ushul dalilnya adalah qathi, sedangkan kebanyakan masalah furu dalilnya
tidak qathi. Tetapi ada juga masalah furu yang dalilnya qothi sehingga semua
ulama menyepakatinya dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut,
contohnya :
a. Hukum haram bagi daging babi, bangkai, darah yang mengalir,
khamr (arak) dan riba.
b. Hukum rajam bagi pezina mukhson (sudah pernah menikah), dera
100 kali bagi pezina ghoiru mukhson (belum pernah menikah).
c. Hukum Qisash (balas bunuh) bagi pembunuhan yang disengaja.
d. Hukum potong tangan bagi pencuri.
e. Hukum dera 80 kali bagi orang yang mendakwakan tuduhan
dusta.
f. Hukum potong tangan, kaki dan disalip bagi pelaku kerusuhan
dan tindakan anarkis. (perampok, penjarah, pelaku huru-hara, pemberontak, dsb)
B. Dalil Dzani (dugaan)
Dalil dzani adalah dalil yang tidak
memenuhi syarat dalil qathi, yaitu :
1. Dzani wurudnya (sumbernya) yaitu : Hadits yang tidak
mencapai derajad mutawatir.
2. Dzani Dhalalahnya (petunjuk lafazhnya) yaitu : masih ada
kemungkinan multi penafsiran dan tidak sharih (tidak jelas) petunjuk dan
cakupan lafazhnya.
Kebanyakan
masalah furu yang ijtihadi dalilnya adalah Dzani, seperti hadis ahad,
atsar-fatwa sahabat, istihsan, maslahah mursalah dan semua sumber hukum
sekunder dan tersier yang diuraikan pada point IX B diatas.
XIII. Tentang Bidah
Pembahasan
tentang bidah merupakan masalah yang sangat krusial, karena perbedaan pendapat
dan pemahaman tentang masalah bidah ini yang sekarang ini menjadi salah satu
biang keladi dan pemicu utama terjadinya friksi diantara berbagai kelompok,
aliran, mazhab dan harokah Islam. Apalagi sekarang ini ada yang menjadikan kata
bidah sebagai peluru yang sering dimuntahkan dan menjadikan kata mubtadi (pelaku bidah) sebagai label yang sering ditempelkan kepada
kelompok lain.
A.
Pengertian Bidah Secara Bahasa
Secara
bahasa bid’ah itu berasal dari ba-da-’a asy-syai yang artinya adalah mengadakan
dan memulai. Kata “bid’ah” maknanya adalah baru atau sesuatu perkara yang baru
yang belum pernah ada pada masa Nabi.
B.
Pengertian Bid’ah Secara Istilah.
Secara
istilah, bid’ah itu didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan
batasan. Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid’ah itu memang berbeda-beda.
Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis
yang baru (diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.
Sultonu
Ulama, Imam Izzudin bin Abdus Salam, seorang ulama terbesar dari mazhab Syafii
(wafat 660 H) dalam kitabnya Qawaidul Ahkam menerangkan bahwa bidah adalah
suatu perbuatan (baru) yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.
Dalam
Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait
halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam
mendefinisikan bid’ah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang tidak di masa
Rasulullah SAW sebagai bidah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan
kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.
Kelompok Pertama
Kelompok
yang menganggap bahwa perkara baru yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai
bidah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram, maksudnya ada juga
perkara baru yang baik.
a.
Tokoh-tokohnya
Di
antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam
Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Imam Izzudin bin Abdis Salam, Imam Nawawi,
Ibnu Hajar Atsqolani, As-Suyuthi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan
Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan Maliki seperti Ibnul
Abidin dan dari kalangan Al-Hanbaliah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari
kalangan Dzahiri.
b.
Argumennya
Shalat
Tarawih pada jaman Nabi dan Abu Bakar dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaah
berkelompok-kelompok yang terpisah dalam Masjid. Pada Jaman Khalifah Umar bin
Al-Khattab beliau membuat perkara baru yaitu menghimpun orang-orang untuk
shalat tarawih berjamaah dengan satu imam, pada waktu itu ditunjuk Ubay bin
Kaab sebagai imamnya. Setelah itu Umar berkata : “ini adalah sebaik-baik bid’ah“.
Perbuatan
itu tidak ditentang oleh para sahabat Nabi yang lain dan bahkan sepeninggal
Umar masih terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini.
Ibnu
Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis
bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
Hadits
yang mengindikasikan adanya bidah yang baik adalah hadits berikut :
Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat
ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa
yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran
dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.
Dalam
Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Atsqolani, pada juz XVII halaman 10
menyebutkan : 1. Ada riwayat dari Abu Nuim menyebutkan bahwa Imam Syafii pernah
berkata :
Bidah itu dua macam, satu bidah
terpuji dan yang lain bidah tercela. Bidah terpuji adalah yang sesuai dengan
sunnah Nabi dan bidah yang tercela adalah yang tidak sesuai atau menentang
sunnah Nabi.
2. Imam Baihaqi dalam kitabnya Manaqib Syafii menyebutkan
bahwa Imam Syafii pernah berkata :
Perkara baru (bidah) itu ada dua
macam : 1. Perbuatan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Quran,
Sunnah Nabi, atsar dan Ijma, ini dinamakan bidah dhalalah. 2. Perbuatan
keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu dari yang tersebut diatas
adalah bidah juga, tetapi tidak tercela.
3. Tentang bidah, sebagian ulama membagi kepada hukum yang
lima dan memang begitulah. (maksudnya Ibnu Hajar Atsqolany mendukung membagi
hukum bidah kepada hukum yang lima yaitu : wajib, sunnah, makruh, mubah,
haram).
Bisa
kita nukil pendapat Imam Izzudin bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa perkara
baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, terbagi menjadi lima hukum,
yaitu : bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan
bid’ah mubah.
c.
Contoh-contohnya :
Bidah yang wajib :
-
Membukukan mushaf Al-Quran.
-
Membukukan hadits Nabi (padahal ada
hadits Nabi yang melarang membukukan hadits, karena khawatir tercampur-baur
dengan Al-Quran).
-
Kodifikasi, perumusan dan penulisan
ilmu-ilmu keislaman yang seolah-olah berdiri sendiri seperti : ilmu tafsir,
ilmu hadits, ilmu Al-Quran, ilmu Fiqih, ilmu kalam (ushuludin), ilmu mantiq
(logika), ilmu nahwu-sharaf, ilmu balaghah, ilmu tasawuf.
-
Mempelajari teknologi militer untuk
menjaga kekuatan dan pertahanan kaum Muslimin.
Bidah yang haram :
-
Bidah dalam masalah akidah berbagai
firqoh sempalan, seperti :
a. Khawarij yang memisahkan diri dan selalu memberontak
terhadap Amir Kaum Muslimin yang mereka anggap berbuat zalim, menghalalkan
darah orang-orang diluar kelompoknya dan mudah mengkafirkan sesama muslim.
b. Syiah Ghulat yang mengkultuskan Imam Ali, menuduh Abu Bakar,
Umar, Usman menyerobot hak kekhalifahannya. Mencaci maki Aisyah, Talhah, Zubair
dan Muawiyah yang pernah berseteru melawan Ali.
c. Murjiah yang mempunyai keyakinan iman itu cukup dengan hati.
Perkataan dan perbuatan tidak termasuk iman.
d. Qadariyah yang menolak takdir, Jabariyah yang menolak
ikhtiar usaha bebas manusia.
e. Mujasimah dan Musyabbihah yang menyerupakan Allah dengan
keadaan manusia.
f. Muatillah yang menolak sifat-sifat Allah.
g. Mutazilah yang mengatakan Al-Quran adalah makhluk.
-
Bidah dalam ibadah, seperti :
a. Menambah atau mengurangi jumlah rokaat shalat lima waktu.
b. Shalat dengan tambaan bacaan bahasa Indonesia.
c. Puasa sehari penuh (tidak berbuka saat maghrib).
d. Mewajibkan zakat terhadap barang-barang yang tidak wajib
dizakati.
e. Melakukan haji tidak ke Mekkah.
-
Bidah yang Sunnah :
a. Shalat Tarawih berjamaah.
b. Adzan pertama pada shalat Jumat.
c. Mengadakan pengajian Maulid Nabi.
d. Mendirikan sekolah/madrasah/majelis talim.
-
Bidah yang Makruh :
a. Menghias masjid.
b. Menetapkan waktu tertentu untuk ibadah.
c. Perdebatan yang sengit dalam masalah khilafiah.
d. Sistem pemerintahan yang monarki.
e. Melakukan ibadah (shalat/puasa) sunah untuk tujuan duniawi
semata-mata.
-
Bidah yang Mubah :
a. Makan menggunakan sendok.
b. Memakai pakaian yang bagus.
c. Membuat rumah yang besar.
d. Menggunakan peralatan modern.
e. Dzikir berjamaah.
f. Bersalam-salaman setelah shalat berjamaah.
Kelompok Kedua
Kelompok
ini menganggap bahwa yang disebut perkara baru (bid’ah) itu semuanya adalah
sesat, berdasarkan pemahaman tekstual keumuman lafazh hadits Semua perkara baru (bidah) adalah
sesat (dhalalah).
Kelompok
ini menganggap semua perkara baru dalam masalah syariat adalah bidah dhalalah.
Sedangkan perkara baru dalam masalah diluar syariat dihukumi sebagai sarana.
Hukum sarana itu tergantung pada tujuannya. Sarana menuju yang haram adalah
haram, sarana menuju yang wajib juga menjadi wajib.
a.
Tokoh
Di
antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy,
Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga
ada Al-Baihaqi serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan
kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taimiyah.
b.
Dalil
Dalil
yang mereka gunakan adalah:
Bahwa
Alloh SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman
Alloh SWT : Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS Al-Maidah: 3)
Hadits
Nabi :
Bahwa semua perkara baru (bid’ah) itu adalah sesat.
“Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak
ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak.” (HR Muslim 1817)
c.
Contoh :
-
Maulud Nabi tidak ada di jaman Nabi,
maka itu termasuk bidah dhalalah.
-
Dzikir berjamaah tidak ada dijaman
Nabi, maka itu termasuk bidah dhalalah.
-
Pemilu tidak ada di jaman Nabi, maka
itu termasuk bidah dhalalah.
-
Tahlilan tidak ada dijaman Nabi,
maka itu termasuk bidah dhalalah.
Tahqiq :
1. Kedua kelompok sepakat bahwa tidak semua perkara baru adalah
bidah dhalalah, yaitu sarana yang menuju kebaikan dan urusan duniawi tidak
termasuk bidah dhalalah.
2. Perbedaan pendapat terjadi pada : perkara baru tentang
ibadah dan adat/tradisi yang mengandung unsur agama, contohnya :
a. Shalat Jumah dengan Kutbah Bahasa Indonesia, itu termasuk
bidah dhalalah atau tidak.
b. Shalat Sunah berjamaah itu bidah dhalalah atau tidak.
c. Dzikir berjamah itu bidah dhalalah atau tidak.
d. Peringatan maulid Nabi itu bidah dhalalah atau tidak.
e. Tradisi tahlilan pada hari ke-3, 7, 40, 100 hari orang
meninggal itu bidah atau tidak.
3. Hadits nabi Semua perkara baru (bidah) adalah sesat (dhalalah). Secara tekstual memang mengisyaratkan bahwa semua perkara
baru itu adalah bidah dhalalah.
Petunjuk lafazh hadits diatas memang bersifat umum (am),
lafazh am masih memungkinkan menerima takhsis (peng-khususan) dan ternyata
memang ada takhsisnya yaitu hadits : Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat
ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.
Jadi tidak semua perkara baru bidah dhalalah, masih
memungkinkan adanya sunnah hasanah.
4. Riwayat-atsar yang menunjukkan para sahabat Nabi melakukan
perkara baru yang belum dikenal dijaman Nabi :
a. Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf
yang tidak diperintahkan dan tidak ada contohnya dari Nabi.
b. Khalifah Usman menyatukan Al-Quran dalam satu rasm dan
menyalinnya menjadi beberapa mushaf.
c. Khalifah Usman menambahkan adan menjadi dua kali pada Shalat
Jumat, maksudnya adan pertama untuk mengingatkan manusia bahwa waktu shalat
Jumat sudah dekat.
d. Khalifah Umar bin Khatab melaksanakan shalat Tarawih
berjamaah dibawah satu imam yang belum pernah dilakukan di jaman Nabi.
e. Khalifah Umar bin Khatab tidak memberikan zakat kepada
muallaf, padahal mereka jelas-jelas termasuk muzakki yang berhak menerima zakat
dengan alasan Islam sudah kuat tidak perlu lagi membujuk hati orang-orang yang
baru masuk Islam.
f. Khalifah Umar tidak memotong tangan pencuri ketika masa
kelaparan dan paceklik.
g. Khalifah Umar menetapkan orang yang mentalak tiga sekaligus,
jatuh talak tiga karena pada masa itu orang memudahkan urusan talak dan sering
terjadi lelaki yang menjatuhkan talak tiga sekaligus. Padahal jaman Nabi dan
Khalifah Abu Bakar, talak tiga sekaligus hanya dianggap jatuh talak satu.
h. Khalifah Umar tidak membagikan tanah taklukan di Iraq kepada
para prajurit dengan perimbangan kemaslahatan generasi mendatang, padahal Nabi
membagikan tanah taklukan Khaibar kepada para perajurit.
i. Ibnu Umar menyebut bahwa shalat dhuha’ berjamaah di masjid
sebagai bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
j. Khalifah Umar bin Abdul Azis membukukan hadits, padahal ada
hadits Nabi yang melarang menuliskan hadits (karena khawatir tercampur dengan
Al-Quran).
Semua atsar diatas menunjukkan bahwa tidak semua perkara
baru adalah bidah dhalalah, jadi perlu diselidiki dulu faktor maslahat
dan manfaatnya, illat hukumnya, maqashid syariahnya dan sebagainya.
5. Jadi jangan gampang memvonis bidah dhalalah terhadap semua
perkara baru, tapi juga jangan terus seenaknya membuat perkara baru yang tanpa
ada tujuan dan kemaslahatan yang nyata.
6. Tentang adat, tradisi atau perkara mubah yang mengandung
unsur agama, hendaknya dilihat content (isinya) dan dampaknya, kalau isinya
tidak bertentangan dengan jiwa syariat dan dampaknya tidak mendatangkan
kemudharatan atau perkara baru itu menjadi sarana yang membawa manfaat-maslahat
maka jangan terus mudah divonis sebagai bidah dhalalah.
XIV. Ikhtilaf dan Toleransi
Dalam
masalah ushul, atau masalah furu yang dalilnya sudah Qathi maka tidak boleh ada
perbedaan pendapat, tidak boleh ada ijtihad dan tidak boleh ditambah-dikurangi.
Maka bila ada pihak-pihak yang berbeda pendapat dalam hal itu maka setiap
muslim harus berteriak lantang menentangnya, itulah sebabnya jangan heran kalau
para ulama dengan tegas menentang pemikiran kelompok-kelompok sempalan pelaku
bidah dalam masalah akidah, yaitu kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah,
Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Muatillah.
Dalam
masalah furu yang dzani dan ijtihadi maka boleh ada ijtihad, boleh ada variasi
dan perbedaan pendapat. Setiap muslim tidak boleh bersikap keras atau fanatik
terhadap pendapat atau mazhabnya. Dalam masalah ini perbedaan pendapat adalah
suatu keniscayaan (pasti terjadi) dan harus saling ber toleransi.
Perbedaan
pendapat dalam masalah furu, fiqih-amaliah yang khilafiah ini sudah terjadi
sejak jaman sahabat Nabi dan masa para salafus saleh. Para generasi salaf berbeda pendapat tapi tetap bersatu,
tidak terpecah-belah dan saling ber toleransi. Tidak saling mencelah, tidak
saling menyalahkan, tidak saling mencaci, tidak saling memvonis mubtadi (pelaku bidah), tidak saling mengkafirkan dan tidak mudah menghukumi haram terhadap suatu masalah yang tidak ada dalil qathi yang
tegas menunjukkan hukum haramnya.
Berikut ini riwayat-riwayat yang menunjukkan manhaj generasi
salaf dalam masalah ikhtilaf :
Khalifah
Harun Al Rasyid pernah berkata : Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al
Muwatta sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Quran. Keinginan Khalifah
tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa
Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing
mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Jadi manhaj
salafus saleh adalah memaklumi perbedaan pendapat masalah ikhtilaf dan tidak
memaksakan pendapatnya.
Imam
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka
maka membatalkan wudhu. Suatu hari kepada beliau ada yang bertanya : Apakah
engkau mau shalat dibelakang orang yang luka berdarah tetapi tidak berwudhu
lagi ? . Dengan nada meninggi Imam Ahmad bin Hanbal berkata : Bagaimana saya
tidak mau shalat dibelakang Imam Malik bin Anas dan Said Al Musayyab ?. Kedua
imam tersebut berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka tidak
membatalkan wudhu. Jadi manhaj salafus saleh
adalah menghormati pendapat orang lain yang berbeda dan tetap menjaga ukuwah.
Abdurrahman
bin Mahdy meriwayatkan : Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang
seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : Dari perjalanan yang
menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa
suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau. Imam Malik berkata :
Bertanyalah. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau
hanya menjawab : aku tidak memandangnya baik. Orang itu terus mendesak karena
menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, Bagaimana nanti kalau
kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku
telah pulang kepada mereka ? Imam Malik berkata : Katakan olehmu bahwa aku
Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baik. Artinya beliau sangat
hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila
tidak ada dalil nash qathi yang tegas mengharamkannya.
Imam
Al Auzai (mufti dan fuqaha di Damaskus Syria) menceritakan pendapatnya tentang
orang yang mencium istrinya : Kalau orang itu datang padaku bertanya bagaimana
hukumnya, maka akan aku katakan bahwa dia harus wudhu lagi, tetapi bila dia
tidak mau wudhu lagi, aku tidak akan mencelanya.
Imam
Ahmad bin Hanbal berkata tentang sholat sunnah setelah ashar : Kami tidak
melakukannya tetapi kami tidak mencela yang melakukannya.
Suatu
hari, ada perbedaan perdebatan terbuka antara Ali bin Madini dan Yahya bin Muin
tentang hukumnya menyentuh kemaluan : apakah membatalkan wudhu atau tidak ?
Perdebatan ini dihadiri oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Kata Yahya bin Muin : Orang
itu harus wudhlu lagi. Dia menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Busrah
binti Shafwan sebagai dalil. Sedangkan Ali bin Madini pendapatnya berlawanan
menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Qais bin Thalaq sebagai dalil.
Kemudian Yahya menyampaikan pendapat Ibnu Umar sebagai dalil tambahan, dibalas
lagi oleh Ali dengan pendapat Ammar bin Yasir.
Menanggapi
kejadian itu, Imam Ahmad bin Hanbal langsung menengahi, Sudahlah, derajad Ammar
dan Ibnu Umar sama. Siapa suka boleh mengambil pendapat salah satunya.
Ibnu
Qudamah dalam kitab Al Mugni menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab Imam
Ahmad bin Hanbal : Menurut penegasan Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dibelakang
orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah cabang-cabang hukum fiqih,
seperti para pengikut mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafii hukumnya adalah sah dan
sama sekali tidak makruh. Karena para sahabat, para tabiin dan orang-orang
sesudah mereka masih tetap bermakmum kepada yang lain, walaupun berbeda
pendapat dalam masalah hukum cabang itu. Dengan demikian, ketentuan ini merupakan
salah satu kesepakatan (ijma). Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan
sebuah syarat shalat atau salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum tetapi
tidak diakui oleh imam, maka menurut makna literal dari redaksi pendapat Imam
Ahmad : shalat dibelakang imam itu tetap sah.
Dalam
mazhab Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya dikatakan bahwa wudhu seseorang
bisa batal karena keluar darah. Suatu hari imam Abu Yusuf (pengikut mazhab Abu
Hanifah) melihat bahwa Khalifah Harun Al Rasyid berbekam kemudian langsung
shalat tanpa wudhu terlebih dahulu, karena mengikuti pendapat Imam Malik yang
menyatakan bahwa orang yang berbekam tidak batal wudhunya. Kemudian Imam Abu
Yusuf langsung bermakmum dibelakang Khalifah Harun Al Rasyid dan tidak
mengulangi shalatnya.
Imam
Syafii dalam qaul qadimnya berpendapat bahwa rambut yang sudah dipotong
hukumnya najis, suatu hari Imam Syafii shalat setelah bercukur rambut,
sementara dibajunya masih ada sisa-sisa rambut berceceran. Orang-orang yang
melihatnya menanyakan hal tersebut, maka Imam SyafiI menjawab : Saat dalam
kesulitan, kita mengambil pendapat penduduk Iraq (mazhab Imam Abu Hanifah).
Ibnu
Taimiyah dalam Majmu Fatwa menceritakan bahwa Imam Syafii yang berpendapat
menjaharkan (membaca nyaring) Bismillahirrahmanirrahim dalam shalat, tetap
bermakmum kepada para ulama Madinah yang tidak pernah menjaharkan
Bismillahirrahmanirrahim
Diriwayatkan
dari Abu Bakar bin Al Khallal : diceritakan kepada saya oleh Al Hushain bin
Basyar Al Makhrumi, bahwa yang bersangkutan telah bertanya kepada Imam Ahmad
bin Hanbal tentang masalah sumpah yang menjurus ke arah perceraian. Imam Ahmad
bin Hanbal menjawab tegas, Kalaui dia melakukanm berarti dia telah melanggar
sumpahnya.
Lalu
Al Hushain meminta jalan keluar, Bagaimana kalau ada orang lain yang
memfatwakan kepada saya, bahwa dia tidak melanggar sumpahnya (tidak jatuh talak
perceraian) ?. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : Kamu tahu pengajian para ulama
Madinah ? Al Hushain menjawab, Ya Saat itu memang ada beberapa ulama Madinah
yang membuka pengajian di teras Masjid Agung Baghdad. Apakah kalau mereka
memberikan fatwa (berbeda), istri saya tetap halal ? maka Imam Ahmad bin Hanbal
menjawab : Ya !.
Baihaqi
dalam Sunan Al Kubra meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid : Dahulu kami
bersama Abdullah bin Masud di Mudzalifah. Dan saat mereka memasuki Masjid Mina,
beliau bertanya : Amirul Mukminin (Usman bin Affan) shalat berapa rakaat ?
Mereka menjawab, Empat rakaat. Maka Ibnu Masud langsung shalat empat rakaat
tanpa membantah.
Mereka
langsung mempertanyakan, Bukankah anda yang meriwayatkan hadits bahwa
Rasulullah dan Abu Bakar melakukan shalat dua rakaat ?. Ibnu Masud menjawab :
Memang, dan sekarang saya akan meriwayatkannya untuk kalian. Tetapi Usman bin
Affan sekarang adalah imam kita dan saya enggan berbeda dengannya, karena
perbedaan pendapat (pada saat seperti) ini adalah buruk.
Diriwayatkan
pula bahwa Imam Syafii meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam Abu
Hanifah. Ini bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak yang mempertanyakan
hal itu, maka Imam Syafii menjawab : Aku tidak mencabut pendapatku tentang
qunut pada shalat subuh tetapi aku menghormati pendapat Imam Abu Hanifah.
Dari
Ibnu Abdil Barr berkata dalam At Tahmid : Penulis pernah mendengar guru besar
kami Abu umar Ahmad bin Abdul Malik berkata : Dahulu Abu Ibrahim bin Ishaq bin
Ibrahim, guru besar kami, selalu mengangkat tangannya sebelum dan sesudah
bangun dari ruku, berdasarkan hadits Ibnu Umar yang tercantum dalam Al Muwatta;
sejauh yang penulis temui, beliau adalah terbaik yang paling menguasai fiqih
dan paling benar dalam ilmu dan agamanya.
Penulis
berkata : Tapi kenapa anda tidak mengangkat tangan anda, agar kami bisa
mengikuti anda ? Beliau menjawab : Saya tidak akan berbeda dengan bunyi hadits
yang diriwayatkan oleh Ibn Al Qasim, karena orang-orang disekitar kita sekarang
ini melakukan ruku (tanpa mengangkat tangan) berdasarkan hadits itu. Dan tindakan
yang berbeda dengan kebiasaan umum dalam hal-hal yang diperbolehkan bukan
termasuk tradisi imam-imam kita.
Ibnu
Taimiyah dalam Majmu Fatwa nya mengatakan, Apabila seorang makmum berjamaah
dengan imam yang membaca qunut pada shalat subuh atau shalat witir, selayaknya
dia ikut membaca qunut. Tidak perduli apakah imamnya berqunut sebelum ruku atau
sesudahnya. Sebaliknya, kalau imamnya tidak membaca qunut, makmum juga
dianjurkan tidak berqunut. Begitu juga kalau imam memandang bahwa perbuatan itu
disunnatkan, berbeda dengan pandangan para makmumnya, maka ; kalau dia
meninggalkannya untuk menyatukan pendapat, tentu tindakan ini dianggap lebih
baik.
Ibnu
Taimiyah kemudian mengajukan sabda Nabi kepada Aisyah sebagai dalil : Hanya karena kaummu baru
meninggalkan masa jahiliyah, aku tidak jadi menyuruh orang untuk meratakan
bangunan Kabah, kemudian aku akan membuat bangunan baru yang mempunyai dua
pintu, satu pintu untuk masuk dan pintu yang lain untuk keluar.
Terlihat
disini, bahwa keinginan yang dianggap Nabi lebih baik ditinggalkan sendiri oleh
beliau hanya supaya tidak menimbulkan antipati orang banyak.
Dibagian
lain dalam buku Majmu Fatwanya, Ibnu Taimiyah berkata : Karena itu, para imam,
Ahmad dan lain-lainnya memandang akan lebih baik kalau seorang imam shalat
meninggalkan sebuah perbuatan sunnat yang diyakininya, kalau hal itu bisa
menarik simpati orang orang yang beriman.
Ibnu
Muflih dalam kitabnya Al Funun dalam bab Al Adab Ast Syariah berkata : Tidak
boleh keluar (menyalahi) dari adat kebiasaan masyarakat kecuali kalau perbuatan
itu diharamkan, karena Rasulullah sendiri telah membiarkan bangunan Kabah
begitu saja, seraya bersabda : Kalau bukan karena kaummu baru meninggalkan masa
jahiliyah
Fiqih
Ikhtilaf
Pokok-pokok pedoman bagi pemahaman
fiqih ikhtilaf :
1. Persatuan adalah wajib.
Aku wasiatkan kepada kalian (Agar
mengikuti) para sahabatku kemudian generasi berikutnya (tabiin) kemudian
generasi berikutnya (tabiit tabiin). Kalian harus tetap dalam jamaah.
Waspadalah terhadap perpecahan, karena sesungguhnya syetan bersama orang yang
sendirian dan dia (syetan) akan lebih jauh dari dua orang. Barang siapa
menginginkan bau harum surga hendaknya selalu dalam jamaah. (HR Turmudzi, Hakim, shahih menurut syarat Bukhary Muslim)
2. Menjauhi dan menghindari perpecahan.
Berpeganglah kamu sekalian pada tali Allah dan jangan
berpecah belah. (QS Ali Imran : 103).
dan janganlah kamu saling
berselisih karena nanti kamu jadi lemah dan hilang kekuatan kamu. (QS Al Anfal : 46).
3. Perbedaan pendapat dalam masalah furu (cabang) adalah suatu
kemestian yang pasti terjadi dan merupakan rahmat dan keluasan bagi umat.
Hadits Nabi : Perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat.
Atsar riwayat Baihaqi, menyebutkan Khalifah Umar bin Abdul
Azis berkata :
Saya tidak senang bila para sahabat
Nabi tidak berselisih pendapat, seandainya mereka tidak berselisih (berbeda)
pendapat, niscaya tidak ada ruksyah (keringanan) bagi kita.
4. Saling bertoleransi terhadap perbedaan pendapat masalah furu
yang ijtihadi.
5. Tidak ada toleransi pada perbedaan pendapat yang nyeleneh
pada masalah ushul (akidah) atau terhadap masalah yang dalilnya sudah qathi
(pasti) dan sharih (jelas).
6. Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain.
7. Tidak memastikan dan tidak menolak mentah-mentah dalam
masalah-masalah yang ijtihadi.
8. Bersikap moderat (pertengahan), tidak ekstrim
berlebih-lebihan.
Jauhkanlah diri kamu dari
berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya
disebabkan karena berlebih-lebihan dalam agama. (HR Ahmad, Nasai, Ibnu Majah, Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
hibban)
9. Bersikap obyektif dan menelaah perbedaan pendapat diantara
para ulama.
10. Menahan diri dari menyerang kelompok yang berbeda pendapat
dalam masalah khilafiah dari : memvonis sesat, fasik, zindiq, mubtadi (pelaku bidah) atau mengkafirkan.
11. Lebih memprioritaskan masalah yang lebih utama yang dihadapi
umat daripada sekedar berkutat pada masalah ikhtilaf, seperti :
a. Ketinggalan science dan teknologi umat islam dibanding barat
yang non muslim.
b. Kemiskinan dan kebodohan umat.
c. Kezaliman dan kesewenang-wenangang politik
d. Perang pemikiran (ghazwul fikri) yang menarik umat kearah
materialistis, sekuleristis, hedonis.
e. Degradasi moral dan spiritual.
f. Zionisme dan Kolonialisme negeri negei Islam.
12. Menjauhi taqlid buta dan fanatisme
a. Mewajibkan taqlid pada salah satu mazhab atau kelompok
tertentu.
b. Meneriakkan selogan bebas mazhab / tidak ber mazhab (dari
empat mazhab yang sudah ada) tapi menjadikan imam yang lain sebagai mazhab ke
lima.
c. Melarang taqlid pada ulama-ulama masa lalu tapi ber taqlid
penuh pada ulama masa sekarang.
d. Merasa kelompoknya paling benar, paling super mendekati
makshum yang bebas dari kesalahan.
e. Berperasangka baik kepada orang lain.
f. Adanya kemungkinan pluraritas kebenaran.
13. Tidak menyakiti orang yang berbeda pendapat.
14. Berdialog dengan cara yang baik dan ilmiah.
15. Menjauhi perdebatan sengit.
XV. Fikih Kotemporer
DR.
Yusuf Qaradhawi, seorang ulama suni kotemporer, hufadz (hafal Al-Quran),
dikenal moderat, matang dalam fiqih dan berwawasan luas, beliau pernah mendapat
gelar The
Man of The Year dari pemerintah Uni Emirat Arab
dalam bukunya Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju Kematangan
menuliskan pemikirannya yang sangat menarik, penting dan perlu diketahui untuk
menambah kematangan kita dalam memahami khazanah dan fenomena pemahaman
beragama dalam masa kotemporer sekarang ini yaitu point-point menuju
kematangan kebangkitan Islam yaitu :
1. Dari formalitas menuju hakikat.
Aspek lahir syariat : shalat, puasa, zakat haji, hafal ayat
dan teks hadits, hafal teori-teori theologi : sifat 20, asmaul husna, dsb itu
semua adalah aspek formal yang penting, tapi jauh lebih penting adalah
mengamalkan aspek hakikatnya, yaitu : menghambakan diri kepada Allah, tulus
menolong sesama, rendah hati, menjauhi rasa sombong-tinggi hati.
2. Dari Simbol menuju substansi.
Memanjangkan jenggot, memakai baju gamis, memakai jilbab,
memakai peci, memendekkan celana diatas mata kaki, membawa kayu siwak, dsb itu
semua adalah simbol yang penting, tapi jauh lebih penting adalah memegangi
substansinya yaitu : tauhid dalam akidah, ikhlas dalam ibadah, tulus menolong sesama,
amanat dalam muamalah, adil dalam memutuskan, kasih sayang dalam pergaulan,
berperasaan dalam etika, dsb.
3. Dari pembicaraan menuju amal
Ceramah,
wejangan, obrolan itu adalah sebatas pembicaraan maka mengamalkannya itu jauh
lebih penting.
4. Dari polemik-perdebatan menuju
berlomba dalam kebaikan.
Diskusi, seminar, adu argumentasi, beradu dalil,
mengunggulkan pendapat sendiri, melemahkan pendapat orang lain, itu semua
termasuk polemik maka berlomba dalam kebaikan amal (fastabiqul khoirot) : mengamalkan ilmu yang sudah diketahui,
membangun sarana pendidikan, menyantuni fakir-miskin, ber infaq untuk yayasan
yayasan amal, riset penelitian ilmiah, itu semua jauh lebih penting.
5. Dari sentimentil menuju ilmiah
Mengedepankan aspek bangsa, ras, suku, golongan, kelompok,
mazhab itu adalah aspek sentimen, maka mengutamakan kebenaran, dalil dan
argumen itu adalah sikap ilmiah.
6. Dari emosional menuju rasional
Memusuhi kelompok yang berbeda, bersikap agresif-ofensif
menyerang, itu adalah sikap emosional, maka menerima kebenaran dari kelompok
lain dan
7. Dari ekstrim menuju moderat
Ciri sikap ekstrim berlebihan :
a. Tidak mengakui pendapat lain.
b. Memaksakan pendapat.
c. Keras bukan pada tempatnya (pada masalah furu yang
ijtihadi).
d. Kasar, menyakiti.
e. Buruk sangka.
f. Memvonis orang lain sesat, mubtadi, fasik, kafir.
g. Liberalis.
h. Literalis.
i. Suka men-generalisir, tanpa memilih dan memilah.
Ciri-ciri sikap moderat adalah pertengahan :
a. Antara mengikuti mazhab dan non mazhab (memilih pendapat
yang terbaik).
b. Antara pengikut tasawuf dan yang menentang tasawuf.
c. Antara rasionalis dan literalis.
d. Antara yang mengabaikan politik dan yang semata mata
berkutat dalam politik.
e. Antara yang terburu-buru memertik buah sebelum matang dan
yang terlalu lamban memetik buah hingga dipetik orang lain.
f. Antara kelompok idealis yang tidak melihat realita dan
kelompok realis yang tidak percaya akan ide ide.
8. Dari menyulitkan menuju kemudahan.
Tidak mau mengambil ruksyah, mudah mengharamkan, memperluas
konsep bidah dhalalah yaitu berpendapat seolah semua perkara baru yang tidak
ada di jaman Nabi adalah bidah dhalalah, sehingga seolah-olah hidup sekarang
ini adalah penuh dengan sekumpulan larangan, itu semua adalah pandangan
yang menyulitkan.
Padahal Allah berfirman :
Dia (Allah) tidak
menghendaki adanya kesulitan bagimu. (QS
Al Baqarah : 185).
Dia tidak menjadikan
kesukaran dalam agama atas diri kalian.
(QS Al Hajj : 78).
Hadits Nabi :
Agama yang disukai Allah adalah
agama yang mudah. (HR Bukhari, Ahmad, Thabrani)
Sesungguhnya Allah menyukai kalau
ruksyah (keringanan)-Nya diambil, sebagaimana Dia suka dipenuhi azimah
(ketentuan hukum asal bila tidak ada uzur) Nya. (HR Ibnu Hibban, para pentaqiq tidak ada yang
mendhaifkannya)
9. Dari jumud menuju ijtihad.
Hanya memegangi makna literal teks dalil yang masih dzanni,
tidak mau mempertimbangkan maqashid syariah, illat hukum, kondisi sosial dan
perkembangan jaman dan sikap taqlid kepada pendapat ulama tertentu menyebabkan
sikap jumud (beku), maka diperlukan sarana yang mecairkannya demi kemaslahatan
umat yaitu menggalakkan kembali api ijtihad.
10. Dari taklid menuju ittiba.
Sikap taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengetahui argumen-argumennya, sedangkan ittiba adalah mengetahui
argumen-argumen para imam dan memilih mana yang paling baik.
11. Dari fanatisme menuju toleransi.
Ciri sikap fanatik :
a. Menganggap dirinya paling benar.
b. Menganggap semua yang lain pasti salah.
c. Keras pada masalah furu yang ijtihadi
d. Tidak mau meninggalkan perkara yang sunnah untuk menjaga
solidaritas.
e. Tidak mau menerima pendapat lain yang lebih kuat.
Ciri
sikap toleran :
a. Tidak merasa yang paling benar.
b. Mau menerima kemungkinan kebenaran ada pada orang lain.
c. Tidak bersikap keras pada masalah furu yang ijtihadi.
d. Mau meninggalkan perkara sunnah untuk menjaga solidaritas
persamaan.
e. Mau menerima pendapat orang lain yang ternyata lebih
kuat.
12. Dari eksklusifisme menuju
inklusifisme.
13. Dari keberingasan menuju kasih
sayang.
14. Dari perpecahan menuju persatuan.
15. Dari perselisihan menuju
solidaritas.
Sumber :
http://ahmadfaruq.blogdetik.com/fiqih/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar