TOKOH YANG TAK ADA DUANYA
Masih ingatkah anda sekalian akan Sa’id bin Amir
. .. ? Yaitu seorang zahid dan abid yang selalu melindungkan dirinya kepada
Allah, yang telah diminta oleh Amirul Mu’minin Umar untuk menjadi gubernur dan
kepala daerah Syria. . . ?
Pada bagian pertama dari buku ini telah kita
bicarakan dan kita saksikan hal-hal mena’ajubkan mengenai keshalehan,
ketinggian akhlak dan sifat zuhudnya … !
Nah, sekarang pada lembaran-lembaran ini kita
akan bertemu pula dengan saudara, bahkan saudara kembarnya, baik dalam
keshalehan, maupun dalam ketinggian akhlak dan sifat zuhud itu, begitupun dalam
kebesaran jiwa yang jarang tandingannya … !
la adalah Umeir bin Sa’ad! Kaum Muslimin
memberinya gelar “Tokoh yang tak ada duanya”. Cukup kiranya meyakinkan, bahwa
gelar ini diberikan secara bulat oleh para shahabat Rasul yang sama-sama
mempunyai kelebihan, pengertian dan cahaya kebenaran …. !
Ayahnya Sa’ad al-Qari r.a. ikut menyertai
Rasulullah dalam perang Badar dan peperangan-peperangan lain sesudahnya, serta
setia memegang janjinya, sampai ia kembali menemui Allah karena gugur sebagai
syahid di pertempuran Qadiaiah melawan Perri. Dibawanya anaknya sewaktu datang
kepada Rasulullah hingga anak itu pun turut bai’at dan masuk Islam ….
Semenjak Umeir memeluk Islam, dan menjadi ahli
ibadah yang tidak berpiaah dari mihrab mesjid, ia meninggalkan segala kemewahan
dan pergi bernaung ke bawah sakinah atau ketenangan.
Sukarlah anda akan menemukannya di bariaan
pertama . . . , kecuali pada jama’ah shalat, memang ia mempertahankan shaf yang
pertama itu untuk mengejar pahala bariaan muka … ; dan di medan jihad, ia
selalu bergegas mengejar bariaan terdepan, karena ia selalu mendambakan diri
untuk mendapatkan syahid. Selain dari hal-hal seperti itu, maka ia tetap tekun
memperbanyak amal kebaikan, kepemurahan, keutamaan Serta ketaqwaan….
Ia seorang yang cepat menyadari kesalahan dan
Sering menangiai dosanya . . . ! Seorang yang tiada terpikat oleh harta dunia
dan selalu mencari jalan kembali kepada Tuhannya …. Seorang musafir yang
merindukan pulang kepada Allah, dalam setiap perjalanan dan di setiap pemukiman
….
Sungguh, Allah telah menjadikan hati para
shahabat lainnya kasih-sayang kepadanya, hingga ia pun menjadi buah hati dan
tumpuan kasih mereka. Semua itu karena kekuatan imannya, kebersihan jiwanya,
ketenangan jalan hidupnya, keharuman akhlaqnya, dan kecemerlangan
penampilannya, menerbitkan kegembiraan dan kenangan bagi setiap orang yang
menggauli atau melihatnya. Dan tak seorang atau satu pun yang diutamakannya
lebih dari Agamanya . . . !
Pada suatu hari didengarnya Jullas bin Suwaid bin
Shamit, yang masih jadi kerabatnya, sedang berbincang-bincang di rumahnya,
katanya: “Seandainya laki-laki ini memang benar, tentulah kita ini lebih jelek
dari keledai-keledai … !” Yang dimaksudkan dengan laki-laki di siai ialah
Rasulullah saw. sedang Jullas sendiri termasuk di antara orang-orang yang
memeluk Islam karena terbawa-bawa keadaan.
Sewaktu Umeir bin Sa’ad mendengar kata-kata
tersebut, bangkitlah kemarahan dan kebingungan dalam hatinya yang biasa tenang
dan tenteram itu. Kemarahan disebabkan oleh seorang yang telah mengaku menganut
Islam berani merendahkan Rasul dengan kata-kata yang keji itu … Dan
kebingungan karena fikirannya berjalan cepat tentang tanggung jawabnya terhadap
apa yang telah didengarnya dan tak dapat diterimanya . . .. Akan
diaampaikannyalah segala apa yang telah didengarnya kepada Rasulullah saw.?
Bagaimana caranya, padahal ia harus bersifat jujur dalam mengemukakannya .. . ?
Ataukah ia akan berdiam diri saja lalu memendam di dalam dadanya semua yang
didengarnya . . . ? Bagaimana …Dan di mana letak kebenaran penunaian dan cinta
setianya kepada Rasul, yang telah membimbing mereka dari kesesatan dan
mengeluarkan mereka dari kegelapan ? Tetapi kebingungannya tidaklah berjalan
lama, karena jiwa yang tulus selalu menemukan jalan keluar bagi penyelesaiannya
. . . ! Dan dengan segera Umeir berubah menjadi seorang laki-laki perkasa dan
Mu’min yang taqwa . . . , maka ia pun menghadapkan pembicaraan kepada Jullas
bin Suwaid, katanya: “Demi Allah, hai Jullas! Engkau adalah orang yang paling
kucintai, dan yang paling banyak berjasa kepadaku, dan yang paling tidak
kusukai akan ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan . . . ! Sungguh, engkau
telah melontarkan sesuatu ucapan, seandainya ucapan itu kusebarkan dan
sumbernya daripadamu, niacaya akan menyakitkan hatimu
Tetapi andainya
kubiarkan saja kata-kata itu, tentulah Agamaku akan binasa padahal haq Agama
itu lebih utama ditunaikan. Dari itu aku akan menyampaikan apa yang kudengar
kepada Rasulullah … !”
Demikianlah Umeir telah memenuhi keinginan
hatinya yang shaleh secara sempurna …. Pertama ia telah menunaikan haq majlia
sesuai dengan amanat, dan dengan jiwanya yang besar membebaskan diri dari
berperan sebagai orang yang mendengar-dengarkan kata orang lalu
menyampaikannya kepada orang lain. Kedua itu telah menunaikan haq Agamanya
yaitu dengan menyingkapkan sifat kemunafikan yang meragukan. Dan ketiga ia
telah memberi kesempatan kepada Jullas untuk kembali dari kesalahan dan memohon
ampun kepada Allah atas kekeliruannya, yakni sewaktu secara terus terang
dikatakannya kepadanya, bahwa persoalan ini akan diaampaikannya kepada
Rasulullah saw. Seandainya ia sedia bertaubat dan memohon ampun, maka hati
Umeir akan lega karena tak perlu lagi menerus kannya kepada Rasulullah saw.
Tetapi rupanya Jullas telah dipengaruhi
betul-betul oleh rasa sombong dengan dosanya itu, dan tidak ada perasaan
menyesal sedikitpun atau keinginan untuk bertaubat. Hingga terpaksalah Umeir
meninggalkan mereka, katanya: “Akan kusam paikan kepada Rasulullah sebelum
Tuhan menurunkan wahyu yang melibatkan diriku dengan dosamu …
Rasulullah setelah mendapat laporan dari Umeir
mengirim. kan orang mencari Jullas, tetapi setelah Jullas dihadapkan ia
mengingkari katanya itu, bahkan ia mengangkat sumpah palsu atas nama
Allah . . . ! Tetapi ayat al-Quran telah datang memiaahkan antara yang haq
dengan yang bathil:
“Mereka (orang-orang munafik) bersumpah
dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan sesuatu (yang menyakitkan
hatimu). Padahal mereka telah mengucapkan kata-kata kufur, dan mereka telah
kafir sesudah Islam, serta mereka mencita-citakan sesuatu yang tak dapat mereka
capai …. Dan tak ada yang menimbulkar dnedam kemarahan mereka hanyalah
lantaran Allah dan Rasulnya telah menjadikan mereka berkecukupan disebabkan
karunia-Nya . . . . Seandainya mereka bertaubat, maka itulah yang terlebih baik
bagi mereka, dan seandainya mereka berpaling, Allah akan menyiksa mereka dengan
siksaan yang pedih di dunia dan akhirat. Mereka tidak akan mempunyai pembela
maupun penolong di muka bumi … ! “(Q.S. 9 at-Taubah:74)
Dengan turunnya ayat Quran ini, terpaksalah
Jullas mengakui pembicaraannya, dan meminta ampun atas kesalahannya,
teriatimewa di kala diperhatikannya ayat yang mulia yang memutuskan
menghinakannya, tetapi di saat yang sama menjanjikan rahmat Allah seandainya ia
bertaubat dan mencabut kata-katanya: “Maka seandainya mereka bertaubat,
itulah yang terlebih baik untuk mereka… !”
Dan karenanya tindakan Umeir ini menjadi kebaikan
dan berkat kepada Jullas, hingga ia bertaubat dan setelah itu keIslamannya
menjadi baik . . . . Nabi memegang telinga Umeir dan berkata kepadanya sambil
memuaskan hatinya dengan pujian-pujian:
“Hai anak muda, sungguh nyaring telingamu . .
. dan Tuhanmu membenarkan tindakanmu … !”
Aku sungguh beruntung sekali
dapat menemukan Umeir untuk pertama kah, semenjak aku menulia buku mengenai
Umar bin Khatthab mulai empat tahun yang lalu. kiaahnya bersama Amirul Mu’minin
Umar sungguh mempesonakanku, hingga rasanya tak ada lagi cerita lain yang lebih
mempesona dari itu . . . . Nah, cerita inilah sekarang yang akan kupaparkan
kepada anda sekalian, agar anda ikut menyaksikan suatu kebesaran iatimewa dalam
kecemerlangan yang mengagumkan.
Anda tahu bahwa Amirul Mu’minin Umar r.a. selalu
berhati-hati memilih para gubernurnya, seolah-olah ia memilih orang-orang
yang sama mutunya dengan dirinya …. la selalu memilihnya dari orang-orang yang
zuhud dan shaleh, dan orang-orang yang dipercaya dan jujur . . . yang tidak
mengejar pangkat atau kedudukan bahkan tak hendak menerima jabatan tersebut
kecuali karena Amirul Mu’minin memaksanya untuk menjabatnya
….
Sekalipun pandangan tajam dan pengalamannya luas,
namun dalam memilih gubernur-gubernur dan pembantu-pembantu utamanya ini beliau
selalu menimbangnya dalam waktu yang panjang dan mengamatinya dengan teliti.
Beliau selalu mengulang-ulang pesan atau fatwanya yang mengesankan itu sebagai
berikut:
“Aku menginginkan seorang laki-laki bila ia
berada dalam suatu kaum, padahal ia adalah rakyat biasa, tetapi menonjol
seolah-olah ia lah pemimpinnya .. .. Dan bila ia berada di antara mereka
sebagai pemimpinnya, ia menampakkan diri sebagai rakyat biasa . . . . Aku
menghendaki seorang gubernur yang tidak membedakan dirinya dari manusia
kebanyakan dalam soal pakaian, makanan dan tempat tinggal . . . . Ditegakkannya
shalat di tengah-tengah mereka . . . berbagi rata dengan mereka berdasarkan
yang haq . . . dan tak pernah ia menutup pintunya untuk menolak pengaduan
mereka … !”
Maka berdasarkan norma-norma dan peraturan yang
keras inilah, ia di suatu hari memilih Umeir bin Sa’ad untuk menjadi gubernur
di Homs. Umeir berusaha menolak dan melepaskan diri dari jabatan tersebut
tetapi sia-sia, karena Amirul Mu’minin tetap mengharuskan dan memaksanya untuk
menerimanya ….
Umeir pun memohon kepada Allah petunjuk dengan
shalat iatikharah, dan kemudian melaksanakan tugas kewajibannya …. Dan setelah
berjalan setahun masa jabatannya di Homs itu, tak ada hasil pemungutan pajak
yang sampai ke Madinah …. Babkan tak ada sepucuk surat pun yang datang kepada
Amirul Mu’minin daripadanya ….
Amirul Mu’minin memanggil penulisnya, katanya:
“Tulislah surat kepada Umeir agar ia datang pada kita!”
Maka di sinilah saya akan meminta keidzinan anda
untuk melaporkan pertemuan di antara Umar dan Umeir, sebagaimana tercantum
dalam buku saya “Di hadapan Umar”, sebagai berikut: “Di suatu hari jalan-jalan
kota Madinah menyaksikan seorang laki-laki dengan rambut kusut dan tubuh
berdebu. Ia diliputi kelelahan karena berjalan jauh. Langkah-langkahnya seakan‑akan
tercabut dari tanah disebabkan lamanya kepayahan dalam perjalanan, dan
tenaganya yang sudah habis terkuras . . . . Di atas pundak kanannya terdapat
buntil kulit dan sebuah piring … sedang di pundak kirinya kendi beriai air … !
Ia bertelekan pada sebuah tongkat, yang tidak akan terasa berat bila dibawa
oleh orang yang kurus dan lemah . . . . Ia menghampiri majlis
Umar dengan langkah yang gontai, lalu ucapnya:
“Assalamu’alaikum ya Amirul Mu’minin . . . !” Umar membalas salamnya ;kemudian
menanyainya. Hatinya sedih melihatnya dalam keadaan payah dan letih itu. “Apa
kabar hai Umeir?” Jawab Umeir: “Keadaanku sebagaimana yang anda lihat sendiri .
. . . Bukankah anda melihat aku berbadan sehat dan berdarah bersih, dan dunia
di tanganku yang dapat kukendalikan semauku . . .” Apa yang kamu bawa
itu? Yang kubawa ialah buntil atau bungkusan tempat membawa bekal .
.. , piring tempat aku makan, kendi tempat air minum dan wudlu, kemudian
tongkat untuk bertelekan dan guna melawan musuh jika datang menghadang .. ..
Demi Allah, dunia ini tak lain hanyalah pengikut bagi bekal kehidupanku . . . !
— Apakah anda datang dengan berjalan kaki? — Benar! — Apa tak ada orang yang
mau memberikan binatang kendaraannya untuk kamu tunggangi . . . ? — Mereka
tidak menawarkan dan aku tidak pula memintanya. —Apa yang kamu lakukan mengenai
tugas yang kami berikan padamu? — Aku telah mendatangi negeri yang anda
titahkan itu. Orang-orang shaleh di antara penduduknya telah kukumpulkan.
.Kuangkat mereka mengurus pemungutan pajak dan kekayaan negara. Bila telah terkumpul,
kupergunakan. kembali pada tempatnya yang wajar untuk kepentingan mereka. Dan
kalau ada kelebihan, tentulah sudah kukirimkan ke sini … ! — Kalau begitu kau
tak membawa apa-apa untuk kami? — Tidak … !”
Maka berserulah Umar dalam keadaan bangga dan
berbahagia: “Tetapkan kembali jabatan gubernur bagi Umeir yang dijawab oleh
Umeir dengan mengelakkan diri secara bersungguh sungguh, katanya: “Masa yang
demikian itu telah berlalu … aku tak hendak menjadi pegawai anda lagi, atau
pegawai pejabat setelah anda … !”
Cerita ini bukanlah skenario yang kami atur
sendiri, dan bukan pula cerita yang dibuat-buat … tetapi benar-benar peristiwa
sejarah yang pada suatu masa pernah disaksikan oleh bumi Madinah selaku ibu
kota Islam yakni di saat-saat kejayaan dan kebesarannya. Maka dari tipe
golongan manakah tokoh-tokoh utama dan luar biasa itu … ?
Umar r.a. selalu berang angan dan mengatakan:
“Aku ingin sekali mempunyai beberapa orang laki-laki yang seperti Umeir akan
jadi pembantuku untuk melayani Kaum Muslimin .. . . “. Sebabnya, Umeir yang
dilukiskan oleh para shahabatnya sebagai “tokoh yang tak ada duanya”
benar-benar telah meningkat naik dan dapat mengatasi kelemahan dirinya selaku
manusia berhadapan dengan harta benda dunia dan kehidupan yang penuh dengan
onak dan duri ini …. Di waktu ia diharuskan melaksanakan pemerintahan dan
pemimpin, maka kedudukannya yang tinggi itu hanya semakin menambah sifat wara’
dari orang suci ini, dengan perkembangan, pertumbuhan dan kecemerlangan ….
Ketika ia menjabat sebagai gubernur di Horns itu
ia telah menggariskan tugas kewajiban seorang kepala pemerintahan Islam dalam
kata-kata yang selalu diutarakannya dalam menggembleng Kaum Muslimin dari atas
mimbar. Kata-kata itu demikian bunyinya:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Islam mempunyai
dinding teguh dan pintu yang kukuh . . . . Dinding Islam itu ialah keadilan . .
. sedang pintunya ialah kebenaran . . . . Maka apabila dinding itu telah
dirobohkan, dan pintunya didobrak orang, Islam pun akan dapat dikalahkan. Islam
akan senantiasa kuat selama pemerintahannya kuat. Kekuatan pemerintah tidak
terletak dalam angkatan perang, atau keperkasaan angkatan kepulisian . . . .
Tetapi dalam realita pelaksana, melaksanakan segala ketentuan dengan jujur dan
benar disertai menegakkan keadilan . . !”
Dan sekarang dalam kita melepas Umeir dan menghormatinya
dengan penuh kebesaran dan hati yang khusyu’, marilah kita menundukkan kepala
dan kening kita: —
Bagi sebaik-baik guru, yaitu Nabi Muhammad
.
Bagi ikutan orang-orang taqwa, yakni Nabi
Muhammad
Bagi pembawa rahmat Allah yang dilimpahkan kepada
umat manusia sepanjang hayatnya
. Semoga shalawat dan salam-Nya terlimpah
kepadanya – . – - Begitu pun ucapan selamat dan berkah-Nya . . . . Semoga terlimpah
pula salam atas keluarganya yang suci . .. . Begitupun terlimpah atas para
shahabatnya yang terpuji …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar