PAHLAWAN YANG SYAHID DI KAYU SALIB
Dan kini ….
Lapangkanlah jalan kepada pahlawan ini, wahai
para shahabat …. Mari kemari, dari segenap penjuru dan tempat …. Datanglah ke
sini, secara mudah atau bersusah payah …. Kemarilah bergegas dengan menundukkan
hati . . . . Menghadaplah untuk mendapatkan pelajaran dalam berkurban yang tak
ada tandingannya …. Mungkin anda sekalian akan berkata: “Apakah semua yang
telah anda ceritakan kepada kami dulu bukan merupakan pelajaran-pelajaran
tentang pengurbanan yang jarang tandingannya?”
Benar . . . , semuanya
pelajaran, dan kehebatannya tak ada tandingan dan imbangannya …. Tapi kini
kalian berada di muka seorang maha guru baru dalam mata pelajaran seni
berqurban Seorang guru, seandainya anda ketinggalan menghadiri kuliahnya, anda
akan kehilangan banyak kebaikan-kebaikan yang tidak terkira . . . . Mari
bersama kami, wahai penganut aqidah dari setiap ummat dan tempat. Mari bersama
kami, wahai pengagum ketinggian dari segala masa dan zaman . . . . Kamu juga,
wahai orang-orang yang telah sarat oleh beban penipuan diri dan berprasangka
buruk terhadap Agama dan iman . . . .
Marilah datang dengan kebanggaan palsumu itu . .
. . Marilah, dan perhatikanlah bagaimana Agama Allah itu telah membentuk dan
menempa tokoh-tokoh terkemuka …. Marilah perhatikan oleh kalian! Kemuliaan yang
tiada tara … kegagahan sikap,
ketetapan pendirian, keteguhan hati . . .
kepantang munduran … pengurbanan dan kecintaan yang tak ada duanya . . . Ringkasnya,
kebesaran yang luar biasa dan mengagumkan, yang telah dikalungkan oleh keimanan
yang sempurna ke leher pemiliknya yang tulus ikhlas Tampakkah oleh anda
sekalian tubuh yang diaalib itu . ? Nah, inilah dia judul pelajaran kita hari
ini, wahai semua anak manusia! Benar . . . tubuh yang diaalib di hadapan kalian
itulah sekarang yang jadi judul dan mata pelajaran, dan jadi contoh teladan dan
sekaligus guru. Namanya Khubaib bin ‘Adi. Hafalkan benar dengan baik nama yang
mulia ini!
Hafalkan dan dengungkan serta lagukanlah namanya,
karena ia jadi kebanggaan dari setiap manusia, setiap agama, dari setiap aliran
dan dari setiap bangsa di setiap zaman … !
Ia seorang yang cukup dikenal di Madinah dan
termasuk shahabat Anshar. Ia Sering bolak-balik kepada Rasulullah saw. sejak
beliau hijrah kepada mereka, lalu beriman kepada Rabbul Alamin. Seorang
yang berjiwa bersih, bersifat terbuka, beriman teguh dan berhati mulia. Ia
adalah sebagai yang dilukiakan oleh Hassan bin Tsabit, penyair Ialam sebagai
berikut:
“Seorang pahlawan yang kedudukannya sebagai teras
orang-orang Anshar. Seorang yang lapang dada namun tegas dan keras tak dapat
ditawar-tawar”.
Sewaktu bendera perang Badar dikibarkan orang,
terdapatlah di sana seorang prajurit berani mati dan seorang pahlawan gagah
perkasa yang tiada lain dari Khubaib bin ‘Adi ini. Salah seorang di antara
orang-orang musyrik yang berdiri menghadang jalannya di perang Badar ini dan
tewas di ujung pedangnya, ialah seorang pemimpin Quraiay yang bernama al-Harits
bin ‘Amir bin Naufal. Setelah pertempuran selesai dan siaa-siaa pasukan Quraiay
yang kalah kembali ke Mekah, tahulah Bani Harits siapa yang telah menewaskan
bapak mereka. Mereka menghafalkan dengan baik nama orang Ialam yang telah
menewaskan ayah mereka dalam pertempuran itu ialah Khubaib bin ‘Adi … !
Orang-orang Ialam telah kembali ke Madinah dari
perang Badar. Mereka meneruskan pembinaan masyarakat mereka yang baru . .
. Adapun Khubaib, ia adalah seorang yang taat beribadah, dan benar-benar
membawakan sifat dan watak seorang ‘abid dan kerinduan seorang ‘asyik ….
Demikianlah ia beribadat menghadap Allah dengan sepenuh hatinya . . . berdiri
shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang serta memahasucikan Allah
pagi dan petang ….
Pada suatu hari Rasulullah saw. bermaksud hendak
menyelidiki rahasia orang-orang Quraiay, hingga dapat mengetahui ke mana
tujuan gerakan serta langkah persiapan mereka untuk suatu peperangan yang baru
…. Untuk itu beliau pilih sepuluh orang dari para shahabatnya, termasuklah di
antaranya Khubaib dan sebagai pemimpin mereka diangkat oleh Nabi, ‘Ashim bin
Tsabit.
Pasukan penyelidik ini pun berangkatlah ke
tujuannya hingga sampai di suatu tempat antara Osfan dan Mekah. Rupanya gerakan
mereka tercium oleh orang-orang dari kampung Hudzail yang didiami oleh suku
Bani Haiyan, orang-orang ini segera berangkat dengan seratus orang pemanah
mahir, menyusul orang-orang Ialam dan mengikuti jejak mereka dari belakang ….
Pasukan bani Haiyan hampir Saja kehilangan jejak,
kalau tidaklah salah seorang mereka melihat biji kurma berjatuhan di atas pasir
. . . . Biji-biji itu dipungut oleh sebagian di antara orang-orang ini, lalu
mengamatinya berdasarkan firasat yang tajam yang biasa dimiliki oleh bangsa Arab,
lalu berseru kepada teman-teman mereka: “Biji-biji itu berasal dari Yatsrib …
nama lain dari Madinah … Ayuh, kita ikuti, hingga dapat kita ketahui di mana
mereka berada … !
Dengan petunjuk biji-biji kurma yang berceceran
di tanah, mereka terus berjalan, hingga akhirnya mereka melihat dari jauh
rombongan Kaum Muslimin yang sedang mereka cari-cari itu …. ‘Ashim, pemimpin
penyelidik merasa bahwa mereka sedang dikejar musuh, lalu diperintahkannya
kawan-kawannya untuk menaiki suatu puncak bukit yang tinggi . . .. Para pemanah
musuh yang seratus orang itu pun dekatlah sudah. Mereka mengelilingi Kaum
Muslimin lalu mengepung mereka dengan ketat. . . .
Para pengepung meminta agar Kaum Muslimin
menyerahkan diri dengan jaminan bahwa mereka tidak akan dianiaya. Kesepuluh
orang ini menoleh kepada pemimpin mereka ‘Achim bin Tsabit al-Anshan r.a.
Rupanya ia menyatakan: “Adapun aku, demi Allah aku tak akan turun, mengemia
perlindungan orang musyrik . . . ! Ya Allah, sampaikanlah keadaan kami ini
kepada Nabi-Mu . . .!”
Dan segeralah para pemanah yang seratus orang itu
menghujani mereka dengan anak panah …. Pernimpin mereka ‘Achim beserta tujuh
orang lainnya menjadi sasaran dan mereka pun gugurlah sebagai syahid. Mereka
meminta agar yang lain turun dan tetap akan dijamin keselamatannya sebagai
dijanjikan. Maka turunlah ketiga orang itu, yaitu Khubaib beserta dua orang
shahabatnya . . .
Para pemanah mendekati Khubaib dan salah seorang
temannya, mereka menguraikan tali-temali mereka dan mengikat keduanya. Teman
mereka yang ketiga melihat hal ini sebagai awal pengkhianatan janji, lalu ia
memutuskan mati secara nekad sebagaimana dilakukan ‘Achim dan teman-temannya,
maka gugurlah ia pula menemui syahid seperti yang diinginkannya ….
Dan demikianlah, kedelapan orang yang terbilang
di antara orang-orang Mu’min yang paling tebal keimanannya, paling teguh
menepati janji dan paling setia melaksanakan tugas kewajibannya terhadap Allah
dan Rasul, telah menunaikan darma bakti mereka sampai mati ….
Khubaib dan seorang temannya yang seorang lagi
Zaid, berusaha melepaskan tali ikatan mereka, tapi tidak berhasil karena
buhulnya yang sangat erat. Keduanya dibawa oleh para pemanah
durhaka itu ke Mekah. Nama Khubaib menggema dan tersiar ke telinga orang banyak
…. Keluarga Harits bin ‘Amin yang tewas di perang Badar, cepat mengingat nama
ini dengan baik, suatu nama yang menggerakkan dendam kebencian di dada mereka.
Mereka pun segera membeli Khubaib sebagai budak . . . untuk melampiaskan
seluruh dendam kebencian mereka kepadanya. Dalam hal ini mereka mendapat
saingan dari penduduk Mekah lainnya yang juga kehilangan bapak dan pemimpin
mereka di perang Badar. Terakhir mereka merundingkan semacam siksa yang akan
ditimpakan kepada Khubaib untuk memuaskan dendam kemarahan mereka, bukan saja
terhadapnya tetapi juga terhadap seluruh Kaum Muslimin! Dan sementara itu,
golongan musyrik lainnya melakukan tindakan kejam pula terhadap teman Khubaib,
Zaid bin Ditsinnah, yaitu dengan menyula atau menusuknya dari dubur hingga
tembus ke bagian atas badannya ….
Khubaib telah menyerahkan dirinya sepenuhnya,
menyerahkan hatinya, pendeknya semua urusan dan akhir hidupnya kepada Allah
Rabbul’alamin. Dihadapkannya perhatiannya kepada beribadat dengan jiwa yang
teguh, keberanian yang tangguh disertai sakinah atau ketenteraman yang telah
dilimpahkan Allah kepada yang dapat menghancurkan batu karang dan melebur
ketakutan. Allah selalu besertanya sementara ia senantiasa beserta Allah . . .
. Kekuasaan Allah menyertainya, seakan-akan jari-jemari kekuasaan itu membalut dadanya
hingga terasa sejuk dingin ….
Pada suatu kali salah seorang puteri Harits
datang menjenguk ke tempat tahanan Khubaib yang ada di sekitar rumahnya,
tiba-tiba ia meninggalkan tempat itu sambil berteriak, memanggil dan mengajak
orang Mekah menyaksikan keajaiban, katanya: “Demi Allah saya melihat Khubaib
menggenggam setangkai besar anggur sambil memakannya . . . sedang ia terikat
teguh pada besi … padahal di Mekah tak ada sebiji anggur pun …. Saya kira itu
adalah rizqi yang diberikan Allah kepada Khubaib.
Benarlah Itu adalah rizqi yang diberikan Allah
kepada hambanya yang shaleh, sebagaimana dahulu pernah diberikanNya seperti
itu kepada Maryam anak ‘Imran, yaitu di saat:
“Setiap kali Zakaria masuk ke dalam
mihrabnya, dan ditemukannya rizqi di dekat Maryam …. Katanya: Dari mana
datangnya makanan ini hai Maryam? Jawabnya: Ia datang dari Allah, sesungguhnya
Allah memberi rizqi kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan tidak terhingga ….
(Q.S. 3 Ali Imran: 37)
Orang-orang musyrik menyampaikan berita kepada Khubaib
tentang tewasnya serta penderitaan yang dialami shahabat dan saudaranya Zaid
bin Ditsinnah. r.a. Mereka mengira dengan itu dapat merusakkan urat sarafnya,
serta membayangkan dan merasakan derita dan siksa yang membawa kematian
kawannya itu. Tetapi mereka tidak mengetahui bahwa Allah telah merangkulnya
dengan menurunkan sakinah dan rahmat-Nya …. Terus mereka menguji keimanannya
dan membujuknya dengan janji pembebasan seandainya ia man mengingkari Muhammad
dan sebelum itu Tuhannya yang telah diimaninya …. Tetapi usaha mereka tak
ubahnya seperti hendak mencopot matahari dengan memanahnya…! Benar, keimanan
Khubaib tak ubah bagai matahari, baik tentang kuatnya, jauhnya maupun tentang
panasnya dan cahayanya . .. ! Ia akan bercahaya bagi orang-orang yang mencari
cahayanya dan ia akan padam menggelap bagi orang yang menghendakinya gelap.
Adapun orang yang menghampirinya dan menentangnya maka ia akan terbakar dan
hangus.
Dan tatkala mereka telah berputus asa dari apa
yang mereka harapkan, mereka seretlah pahlawan ini ke tempat kematiannya …
mereka bawa ke suatu tempat yang bernama Tan’im, dan di sanalah ia menemui
ajalnya ….
Sebelum mereka melaksanakan itu, Khubaib minta
idzin kepada mereka untuk shalat dua rakaat. Mereka mengidzinkannya, dan
menyangka bahwa rupanya sedang berlangsung tawar menawar dalam dirinya untuk
menyerah kalah dan menyatakan keingkarannya kepada Allah, kepada Rasul dan
kepada Agamanya . . . . Khubaib pun shalatlah dua rakaat dengan khusu’,
tenang, dan hati yang pasrah . . . . Dan melimpahlah ke dalam rongga jiwanya,
lemak manianya iman . . . maka ia menyatakan cintanya kiranya ia terus shalat,
terus shalat dan shalat lagi ….Tetapi kemudian ia berpaling ke
arah algojonya, lalu katanya kepada mereka: “Demi Allah, kalau bukanlah nanti
ada sangkaan kalian bahwa aku takut mati, niacaya akan kulanjutkan lagi
shalatku … !”
Kemudian diangkatnya kedua pangkal lengannya ke
arah langit lalu. mohonnya: “Ya Allah, susutkanlah bilangan mereka … musnahkan
mereka sampai binasa … !” Kemudian diamat-amatinya wajah mereka, disertai
suatu keteguhan tekad lalu berpantun:
Mati bagiku tak menjadi masalah ….
Asalkan ada dalam ridla dan rahmat Allah Dengan
jalan apapun kematian itu terjadi… . Asalkan kerinduan kepada-Nya terpenuhi Ku
berserah menyerah kepada-Nya . . . Sesuai dengan taqdir dan kehendak-Nya
Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah …. pada setiap sobekan daging dan
tetesan darah.
Dan mungkin inilah peristiwa pertama dalam
sejarah bangsa Arab, di mana mereka menyalib seorang laki-laki, kemudian membunuhnya
di atas salib … !
Mereka telah menyiapkan pelepah-pelepah tamar
untuk membuat sebuah salib besar, lalu. menyandarkan Khubaib di atasnya, dengan
mengikat teguh setiap bagian ujung tubuhnya
Orang-orang musyrik itu jadi buas dengan
melakukan segala kekejaman yang menaikkan bulu. roma. Para pemanah bergantian
melepaskan panah-panah mereka.
Kekejaman yang di luar batas ini sengaja
dilakukan secara perlahan-lahan terhadap pahlawan yang tidak berdaya karena
tersalib …. Tapi ia tak memicingkan matanya, dan tak pernah kehilangan sakinah
yang mena’ajubkan itu yang telah memberi cahaya kepada wajahnya. Anak-anak
panah bertancapan ke tubuhnya dan pedang-pedang menyayat-nyayat dagingnya. Di
kala itu salah seorang pemimpin Quraiay mendekatinya sambil
berkata: “Sukakah engkau, Muhammad menggantikanmu, dan engkau sehat wal’afiat
bersama keluargamu?” Tenaga Khubaib pulih kembali, dengan suara laksana angin
kencang ia, berseru kepada para pembunuhnya: “Demi Allah tak sudi aku bersama
anak istriku selamat meni’mati kesenangan dunia, sedang Rasulullah kena musibah
walau oleh sepotong duri … ! ” Kalimat dan kata-kata hebat yang menggugah ini
pulalah yang telah diucapkan oleh teman seperjuangannya Zaid bin Ditsinnah
sewaktu mereka hendak membunuhnya . . .. Kata-kata yang mempesona itu yang
telah diucapkan oleh Zaid kemarin, dan diulangi oleh Khubaib sekarang . . .
yang menyebabkan Abu Sofyan, yang waktu itu belum lagi masuk Ialam
mempertepukkan kedua telapak tangannya sembari berkata kepada penganiaya itu:
“Demi Allah, belum pernah kulihat manusia yang lebih mencintai manusia lain,
seperti halnya shahabat-shahabat Muhammad terhadap Muhammad.. .
Kata-kata Khubaib ini bagaikan aba-aba yang
memberi keleluasaan bagi anak-anak panah dan mata-mata pedang untuk mencapai
sasarannya di tubuh pahlawan ini, yang menyakitinya dengan segala kekejaman dan
kebuasan . . . . Dekat ke tempat kejadian ini telah berterbangan burung-burung
bangkai dan burung-burung buas lainnya, seolah-olah sedang menunggu selesainya
para pembantai pulang meninggalkan tempat itu, hingga dapat mendekat dan
mengerubungi tubuh yang sudah menjadi mayat itu sebagai santapan istimewa – . .
. Tetapi kemudian burung-burung tersebut berbunyi bersahut-sahutan lalu
berkumpul dan saling mendekatkan paruhnya seakan-akan mereka sedang berbisik
dan berbicara perlahan-lahan serta saling bertukar kata dan buah fikiran. Dan
tiba-tiba mereka beterbangan membelah angkasa, dan pergi menjauh .. . . jauh …
jauh sekali . . . . Seolah-olah burung ini dengan perasaan dan nalurinya
tercium akan jasad seorang yang shaleh yang berdekat diri kepada Allah dan
menyebarkan baunya yang harum dari tubuh yang tersalib itu, maka mereka segan
dan malu akan menghampiri dan menyakitinya . . . !
Demikianlah burung-burung itu berlalu terbang
berbondong-bondonm melintasi angkasa dan menahan diri dari kerakusannya ….
Orang-orang musyrik telah kembali ke Mekah, ke
sarang kedengkian, setelah meluapkan dendam kesumat dan permusuhan. Dan
tinggallah tubuh yang syahid itu dijaga oleh sekelompok para algojo bersenjata
tombak dan pedang.
Dan Khubaib, ketika mereka menaruhnya di atas
pelepah kurma yang mereka jadikan sebagai kayu salib tempat mereka
mengikatkannya, telah menghadapkan mukanya ke arah langit sambil berdoa kepada
Tuhannya Yang Maha Besar, Katanya: “Ya Allah kami telah menyampaikan tugas dari
Rasul-Mu, maka mohon disampaikan pula kepadanya esok, tindakan orang-orang itu
terhadap kami … !”
Doanya itu diperkenankan oleh Allah …. Sewaktu
Rasul di Madinah, tiba-tiba ia diliputi suatu perasaan yang kuat, memberitahukan
bahwa para shahabatnya dalam bahaya . . . dan terbayanglah kepadanya tubuh
salah seorang mereka sedang tergantung di awang-awang ….
Dengan segera beliau saw. memerintahkan
shahabatnya Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam . . . , yang segera menunggang
kuda mereka dan memacunya dengan kencang. Dan dengan petunjuk Allah sampailah
mereka ke tempat yang dimaksud. Maka mereka turunkanlah mayat shahabat mereka
Khubaib, sementara tempat suci di bumi telah menunggunya untuk memeluk dan
menutupinya dengan tanah yang lembab penuh berkah ….
Tak ada yang mengetahui sampai sekarang di mana
sesungguhnya makam Khubaib. Mungkin itu lebih pantas dan utama untuknya,
sehingga senantiasalah ia menjadi kenangan dalam hati nurani kehidupan, sebagai
seorang pahlawan yang mati syahid di atas kayu salib …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar