YANG PENTING KEIKHLASAN …. KEMUDIAN TERJADILAH APA YANG AKAN TERJADI … !
Tatkala Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab
mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur, dikumpulkannyalah
penduduk lalu berpidato di hadapan mereka, katanya: ”Sesungguhnya Amirul
Mu’minin Umar telah mengirimku kepada kamu sekalian, agar aku mengajarkan
kepada kalian kitab Tuhan kalian dan Sunnah Nabi kalian, serta membersihkan
jalan hidup kalian … !”
Orang-orang sama heran dan bertanya-tanya . . . !
Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang
Agama, yang memang menjadi kewajiban gubernur dan panglima. Tetapi bahwa tugas
gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka, hal ini memang amat mengherankan
dan menjadi suatu tanda tanya … !
Maka siapakah kiranya gubernur ini, yang mengenai
dirinya Hasan Basri r.a. pernah berkata: ”Tak seorang pengendara pun yang
datang ke Basrah yang lebih berjasa kepada penduduknya selain dia … !”
Ia adalah Abdullah bin Qeis dengan gelar Abu Musa
al-Asy’ari. Ia meninggalkan negeri dan kampung halamannya Yaman menuju Mekah,
segera setelah mendengar munculnya seorang Rasul di sana yang menyerukan
tauhid, dan menyeru beribadah kepada Allah berdasarkan penalaran dan
pengertian, serta menyuruh berakhlaq mulia.
Di Mekah dihabiskan waktunya untuk duduk di
hadapan Rasulullah saw. menerima petunjuk dan keimanan daripadanya. Lalu
pulanglah ia ke negerinya membawa kalimat Allah, baru kembali lagi kepada Rasul
saw. tidak lama setelah selesainya pembebasan Khaibar ….
Kebetulan kedatangannya ini bersamaan dengan
tibanya Ja’far bin Abi Thalib bersama rombongannya dari Habsyi, hingga semua
mereka mendapat bagian saham dari hasil pertempuran Khaibar.
Kali ini, Abu Musa tidaklah datang seorang diri,
tetapi membawa lebih dari limapuluh orang laki-laki penduduk Yaman yang telah
diajarinya tentang Agama Islam, serta dua orang saudara kandungnya yang bernama
Abu Ruhum dan Abu Burdah.
Rombongan ini, bahkan seluruh kaum mereka
dinamakan Rasulullah golongan Asy’ari, serta dilukiskannya bahwa mereka adalah
orang-orang yang paling lembut hatinya di antara sesamanya. Dan Sering mereka
diambilnya sebagai tamsil perbandingan bagi para shahabatnya, sabda beliau: —
“Orang-orang Asy’ari ini, bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau
ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan yang mereka miliki pada
selembar kain, lalu mereka bagi rata . . . . Maka mereka termasuk golonganku,
dan aku termasuk golongan mereka. . . !”
Mulai saat itu, Abu Musa pun menempati
kedudukannya yang tinggi dan tetap di kalangan Kaum Muslimin dan Mu’minin yang
ditaqdirkan memperoleh nasib mujur menjadi shahabat Rasulullah dan muridnya,
dan yang menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia, pada setiap saat.
Abu Musa merupakan gabungan yang istimewa dari
sifat-sifat utama! Ia adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang
tangguh bila berada di medan perang … ! Tetapi ia juga seorang pahlawan
perdamaian, peramah dan tenang, keramahan dan ketenangannya mencapai batas
maksimal … ! Seorang ahli hukum yang cerdas dan berfikiran sehat, yang mampu
mengerahkan perhatian kepada kunci dan pokok persoalan, serta mencapai hasil
gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, sampai ada yang mengatakan:
“Qadli atau hakim ummat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid
bin Tsabit
Di samping itu ia berkepribadian suci hingga
orang yang menipunya di jalan Allah, pasti akan tertipu sendiri, tak ubahnya
seperti senjata makan tuan . . . ! Abu Musa sangat bertanggung jawab terhadap
tugasnya dan besar perhatiannya terhadap sesama manusia. Dan andainya kita
ingin memilih suatu semboyan dari kenyataan hidupnya, maka semboyan itu akan
berbunyi: — “Yang penting ialah ikhlas, kemudian biarlah terjadi apa yang akan
terjadi . . . !”
Dalam arena perjuangan al-Asy’ari memikul
tanggung jawab dengan penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah saw.
berkata mengenai dirinya: — “Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa .
. . !” Dan sebagai pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya sebagai
berikut: ”Kami pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama
Rasulullah, hingga sepatu kami pecah berlobang-lobang, tidak ketinggalan
sepatuku, bahkan kuku jariku habis terkelupas, sampai-sampai kami terpaksa
membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain… !”
Keramahan, kedamaian dan ketenangannya, jangan
harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan . .. ! Karena dalam
suasana seperti ini, ia akan meninjau sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan akan
menyelesaikannya dengan tekad yang tak kenal menyerah . . . !
Pernah terjadi ketika Kaum Muslimin membebaskan
negeri Persi, al-Asy’ari dengan tentaranya menduduki kota Isfahan. Penduduknya
minta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi dalam
perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu
untuk mempersiapkan diri dan akan memukul Kaum Muslimin secara curang … !
Hanya kearifan Abu Musa yang tak pernah lenyap di
saat-saat yang diperlukan, mencium kebusukan niat yang mereka sembunyikan . .
. . Maka tatkala mereka bermaksud hendak melancarkan pukulan mereka itu, Abu
Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu slap untuk melayani dan
menghadapi mereka. Terjadilah pertempuran, dan belum lagi sampai tengah hari,
Abu Musa telah memperoleh kemenangan yang gemilang . . . !
Dalam medan tempur melawan imperium Persi, Abu
Musa al-Asy’ari mampunyai saham dan jasa besar. Bahkan dalam pertempuran di
Tustar, yang dijadikan oleh Hurmuzan sebagai benteng pertahanan terakhir dan
tempat ia bersama tentaranya mengundurkan diri, Abu Musa menjadi pahlawan dan
bintang lapangannya . . . ! Pada saat itu Amirul Mu’minin Umar ibnul Khatthab
mengirimkan sejumlah tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh ‘Ammar bin
Yasir, Barra’ bin Malik, Anas bin Malik, Majzaah al-Bakri dan Salamah bin
Raja’.
Dan kedua tentara itu pun, yakni tentara Islam di
bawah pimpinan Abu Musa, dan tentara Persi di bawah pimpinan Hurmuzan,
bertemulah dalam suatu pertempuran dahsyat. Tentara Persi menarik diri ke dalam
kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung oleh Kaum
Muslimin berhari-hari lamanya, hingga akhirnya Abu Musa mempergunakan akal
muslihatnya ….
Dikirimnya beberapa orang menyamar sebagai
pedagang Persi membawa dua ratus ekor kuda disertai beberapa prajurit perintis
menyamar sebagai pengembala.
Pintu gerbang kota pun dibuka untuk mempersilakan
para pedagang masuk. Secepat pintu benteng itu dibuka, prajurit-prajurit pun
berloncatan menerkam para penjaga dan pertempuran kecil pun terjadi.
Abu Musa beserta pasukannya tidak membuang waktu
lagi menyerbu memasuki kota, pertempuran dahsyat terjadi, tapi tak berapa lama
seluruh kota diduduki dan panglima beserta seluruh pasukannya menyerah kalah.
Panglima musuh beserta para komandan pasukan oleh
Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka pada Amirul Mu’minin.
Tetapi baru saja prajurit yang kaya dengan
pengalaman dan dahsyat ini meninggalkan medan, ia pun telah beralih rupa
menjadi seorang hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan amat jinak
bagaikan burung merpati . . . . Ia membaca al-Quran dengan suara yang
menggetarkan tali hati para pendengarnya, hingga mengenai ini Rasulullah
pernah bersabda:
“Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah
seruling dari seruling-seruling keluarga Daud … ! “
Dan setiap Umar r.a. melihatnya, dipanggilnya dan
disuruhnya untuk membacakan Kitahullah: ”Bangkitkanlah kerinduan
kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa … !”
Begitu pula dalam peperangan, ia tidak ikut
serta, kecuali jika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang Agama
dan bermaksud hendak memadamkan nur atau cahaya Ilahi . . . . Adapun peperangan
antara sesama Muslim, maka ia menyingkirkan diri dan tak hendak terlibat di
dalamnya.
Pendiriannya ini jelas terlihat dalam
perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah, dan pada peperangan yang apinya berkobar
ketika itu antara sesama Muslim.
Dan mungkin pokok pembicaraan kita sekarang ini
akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang paling terkenal yaitu pendiriannya
dalam tahkim, pengadilan atau penyelesaian sengketa antara Ali dan Mu’awiyah.
Pendiriannya ini sering dikemukakan sebagai saksi
dan bukti atas kebaikan hatinya yang berlebihan, hingga menjadi makanan empuk
bagi orang yang menipudayakannya. Tetapi sebagaimana akan kita lihat kelak,
pendirian ini walaupun mungkin agak tergesa-gesa dan terdapat padanya
kecerobohan, hanyalah mengungkapkan kebesaran shahabat yang mulia ini, baik
kebesaran jiwa dan kebesaran keimanannya kepada yang haq serta kepercayaannya
terhadap sesama kawan ….
pendapat Abu Musa mengenai soal tahkim ini dapat
kita simpulkan sebagai berikut: Memperhatikan adanya peperangan sesama
Kaum Muslimin, dan adanya gejala masing-masing mempertahankan pemimpin dan
kepala pemerintahannya, suasana antara kedua belah pihak sudah melantur
sedemikian jauh serta teramat gawat menyebabkan nasib seluruh ummat Islam telah
berada di tepi jurang yang amat dalam, maka menurut Abu Musa, suasana ini harus
diubah dan dirombak dari semula secara keseluruhan . . . !
Sesungguhnya perang saudara yang terjadi ketika
itu, hanya berkisar pada pribadi kepala negara atau khalifah yang diperebutkan
oleh dua golongan Kaum Muslimin. Maka pemecahannya ialah hendaklah Imam Ali
meletakkan jabatannya untuk sementara waktu, begitu pula Mu’awiyah harus
turun, kemudian urusan diserahkan lagi dari semula kepada Kaum Muslimin yang
dengan jalan musyawarat akan memilih khalifah yang mereka kehendaki.
Demikianlah analisa Abu Musa ini mengenai kasus
tersebut, dan demikian pula cara pemecahannya . . . ! Benar bahwa Ali k.w.
telah diangkat menjadi khalifah secara sah. Dan benar pula bahwa pembangkangan
yang tidak beralasan, tidak dapat dibiarkan mencapai maksudnya untuk
menggugurkan yang haq yang diakui syari’at … ! Hanya menurut Abu Musa,
pertikaian sekarang ini telah menjadi pertikaian antara penduduk Irak dan
penduduk Syria, yang memerlukan pemikiran dan pemecahan dengan cara baru.
Karena pengkhianatan Mu’awiyah sekarang ini telah menjadi pembangkangan
penduduk Syria, sehingga semua pertikaian itu tidaklah hanya pertikaian dalam
pendapat dan pilihan Saja …
Tetapi kesernuanya itu telah berlarut-larut
menjadi perang saudara dahsyat yang telah meminta ribuan korban dari kedua
belah pihak, dan masih mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan akibat yang
lebih parah!
Maka melenyapkan sebab-sebab pertikaian dan
peperangan serta menghindarkan benih-benih dan biang keladinya, bagi Abu Musa
merupakan titik tolak untuk mencapai penyelesaian … !
Pada mulanya, sesudah menerima rencana tahkim,
Imam Ali bermaksud akan mengangkat Abdullah bin Abbas atau shahabat lainnya
sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi golongan besar yang berpengaruh dari
shahabat dan tentaranya memaksanya untuk memilih Abu Musa al-Asy’ari.
Alasan mereka karena Abu Musa tidak sedikit pun
ikut campur dalam pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah sejak semula. Bahkan
setelah ia putus asa membawa kedua belah pihak kepada Saling pengertian, kepada
perdamaian dan menghentikan peperangan, ia menjauhkan diri dari pihak-pihak
yang bersengketa itu. Maka ditinjau dari segi ini, ia adalah orang yang paling
tepat untuk melaksanakan tahkim.
Mengenai keimanan Abu Musa, begitupun tentang
kejujuran dan ketulusannya, tak sedikit pun diragukan oleh Imam Ali. Hanya ia
tahu betul maksud-maksud tertentu pihak lain dan pengandalan mereka kepada
anggar lidah dan tipu muslihat. Sedang Abu Musa, walaupun ia seorang yang ahli
dan berilmu, tidak menyukai siasat anggar lidah dan tipu muslihat ini, serta ia
ingin memperlakukan orang dengan kejujurannya dan bukan dengan kepintarannya.
Karena itu Imam Ali khawatir Abu Musa akan tertipu oleh orang-orang itu, dan
tahkim hanya akan beralih rupa menjadi anggar lidah dari sebelah pihak yang
akan tambah merusak keadaan …
Dan tahkim antara kedua belah pihak itu pun
mulailah …. Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak Imam Ali sedang Amr bin
‘Ash sebagai wakil dari pihak Mu’awiyah. Dan sesungguhnya ‘Amr bin ‘Ash
mengandalkan ketajaman otak dan kelihaiannya yang luar biasa untuk memenangkan
pihak Mu’awiyah.
Pertemuan antara kedua orang wakil itu, yakni
Asy’ari dan ‘Amr, didahului dengan diajukannya suatu usul yang dilontarkan
oleh Abu Musa, yang maksudnya agar kedua hakim menyetujui dicalonkannya, bahkan
dimaklumkannya Abdullah bin Umar sebagai khalifah Kaum Muslimin, karena tidak
seorang pun di antara umumnya Kaum Muslimin yang tidak mencintai, menghormati
dan memuliakannya.
Mendengar arah pembicaraan Abu Musa ini, ‘Amr bin
‘Ash pun melihat suatu kesempatan emas yang tak akan dibiarkannya berlalu
begitu saja. Dan maksud usul dari Abu Musa ialah bahwa ia sudah tidak terikat
lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Artinya pula bahwa ia
bersedia menyerahkan khalifah kepada pihak lain dari kalangan
shahabat-shahabat Rasul, dengan alasan bahwa ia telah mengusulkan Abdullah bin
Umar. . . -
Demikianlah dengan kelicinannya, ‘Amr menemukan
pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya, hingga ia tetap mengusulkan
Mu’awiyah. Kemudian diusulkannya pula puteranya sendiri Abdullah bin ‘Amr yang
memang mampunyai kedudukan tinggi di kalangan para shahabat Rasulullah saw.
Kecerdikan ‘Amr ini, terbaca oleh keahlian Abu
Musa. Karena demi dilihatnya ‘Amr mengambil prinsip pencalonan itu sebagai
dasar bagi perundingan dan tahkim, ia pun memutar kendali ke arah yang lebih
aman. Secara tak terduga dinyatakannya kepada ‘Amr bahwa pemilihan khalifah
itu adalah haq seluruh Kaum Muslimin, sedang Allah telah menetapkan bahwa
segala urusan mereka hendaklah diperundingkan di antara mereka. Maka hendaklah
soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada mereka bersama.
Dan akan kita lihat nanti bagaimana ‘Amr
menggunakan prinsip yang mulia ini untuk keuntungan pihak Mu’awiyah … !
Tetapi sebelum itu marilah kita dengar perdebatan
yang bersejarah itu yang berlangsung antara Abu Musa dan ‘Amr bin ‘Ash di awal pertemuan
mereka, yang kita ambil dari buku “Al-Akhbaruth Thiwal” buah tangan Abu Hanifah
ad Dainawari sebagai berikut: — Abu Musa :
+ Hai ‘Amr! Apakah anda menginginkan kemaslahatan ummat dan ridla Allah … ?
Ujar ‘Amr:
- Apakah itu … ?
+ Kita angkat Abdullah bin Umar. la tidak ikut campur sedikit pun dalam peperangan ini.
Dan anda, bagaimana pandangan anda terhadap Mu’awiyah … ?
+ Tak ada tempat Mu’awiyah di sinidan tak ada haknya …!
Apakah anda tidak mengakui bahwa Utsman dibunuh secara aniaya ?
+ Benar!
+ Hai ‘Amr! Apakah anda menginginkan kemaslahatan ummat dan ridla Allah … ?
Ujar ‘Amr:
- Apakah itu … ?
+ Kita angkat Abdullah bin Umar. la tidak ikut campur sedikit pun dalam peperangan ini.
Dan anda, bagaimana pandangan anda terhadap Mu’awiyah … ?
+ Tak ada tempat Mu’awiyah di sinidan tak ada haknya …!
Apakah anda tidak mengakui bahwa Utsman dibunuh secara aniaya ?
+ Benar!
Maka Mu’awiyah adalah wali dan penuntut darahnya,
sedang kedudukan atau asal-usulnya di kalangan bangsa Quraisy sebagai telah
anda ketahui pula. Jika ada yang mengatakan nanti kenapa ia diangkat untuk
jabatan itu, padahal tak ada sangkut pautnya dulu, maka anda dapat memberikan
alasan bahwa ia adalah wali darah Utsman, sedang Allah Ta’ala berfirman:
“Barang siapa yang dibunuh secara aniaya, maka Kami berikan kekuasaan kepada
walinya .. . !” Di samping itu ia adalah saudara Ummu. Habibah, istri Nabi saw.
juga salah seorang dari shahabatnya.
+ Takutilah Allah hai ‘Amr!
Mengenai kemuliaan Mu’awiyah yang kamu katakan itu, seandainya, khilafat dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhaq terhadapnya ialah Abrahah bin Shabah, karena ia adalah keturunan raja-raja Yaman Attababiah yang menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian, apa artinya kemuliaan Mu’awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib .. . ? Adapun katamu. bahwa Mu’awiyah wali Utsman, maka lebih utamalah daripadanya, putera, Utsman sendiri ‘Amr bin Utsman . . . ! Tetapi seandainya kamu bersedia mengikuti anjuranku, kita hidupkan kembali Sunnah dan kenangan Umar bin Khatthab dengan mengangkat puteranya Abdullah si Kyai itu. . . !
Mengenai kemuliaan Mu’awiyah yang kamu katakan itu, seandainya, khilafat dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhaq terhadapnya ialah Abrahah bin Shabah, karena ia adalah keturunan raja-raja Yaman Attababiah yang menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian, apa artinya kemuliaan Mu’awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib .. . ? Adapun katamu. bahwa Mu’awiyah wali Utsman, maka lebih utamalah daripadanya, putera, Utsman sendiri ‘Amr bin Utsman . . . ! Tetapi seandainya kamu bersedia mengikuti anjuranku, kita hidupkan kembali Sunnah dan kenangan Umar bin Khatthab dengan mengangkat puteranya Abdullah si Kyai itu. . . !
Kalau begitu apa halangannya bila anda mengangkat
puteraku. Abdullah yang
memiliki keutamaan dan keshalehan, begitupun lebih dulu hijrah dan bergaul dengan
memiliki keutamaan dan keshalehan, begitupun lebih dulu hijrah dan bergaul dengan
Nabi?
+ Puteramu memang seorang yang benar! Tetapi kamu telah menyeretnya ke Lumpur peperangan
ini! Maka baiklah kita serahkan saja kepada orang baik, putera dari orang baik. . . , yaitu Abdullah
bin Umar … !
+ Puteramu memang seorang yang benar! Tetapi kamu telah menyeretnya ke Lumpur peperangan
ini! Maka baiklah kita serahkan saja kepada orang baik, putera dari orang baik. . . , yaitu Abdullah
bin Umar … !
Wahai Abu Musa! Urusan ini tidak cocok baginya,
karena pekerjaan ini hanya layak bagi laki-laki yang memiliki dua pasang
geraham, yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan . . . !
+ Keterlaluan engkau wahai ‘Amr! Kaum Muslimin
telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kita, setelah mereka
berpanahan dan bertetakan pedang. Maka janganlah kita jerumuskan mereka itu
kepada fitnah …
— Jadi bagaimana pendapat anda . . . ?
+ Pendapatku, kita tanggalkan jabatan khalifah itu dari kedua mereka — Ali dan Mu’awiyah — dan kita serahkan kepada ‘ permusyawaratan Kaum Muslimin yang akan memilih siapa yang mereka sukai.
— Ya, saya setuju dengan pendapat ini, karena di sanalah terletak keselamatan jiwa manusia … !
— Jadi bagaimana pendapat anda . . . ?
+ Pendapatku, kita tanggalkan jabatan khalifah itu dari kedua mereka — Ali dan Mu’awiyah — dan kita serahkan kepada ‘ permusyawaratan Kaum Muslimin yang akan memilih siapa yang mereka sukai.
— Ya, saya setuju dengan pendapat ini, karena di sanalah terletak keselamatan jiwa manusia … !
Percakapan ini merubah sama sekali akan bentuk
gambaran yang biasa kita bayangkan mengenai Abu Musa al-Asy’ari, setiap kita
teringat akan peristiwa tahkim ini. Ternyata bahwa Abu Musa jauh sekali akan
dapat dikatakan lengah atau lalai. Bahkan dalam soal jawab ini kepintarannya
lebih menonjol dari kecerdikan ‘Amr bin ‘Ash yang terkenal licin dan lihai itu
… !
Maka tatkala ‘Amr hendak memaksa Abu Musa untuk
menerima Mu’awiyah sebagai khalifah dengan alasan kebangsawanannya dalam suku
Quraisy dan kedudukannya sebagai wali dari Utsman, datanglah jawaban dari Abu
Musa, suatu jawaban gemilang dan tajam laksana mata pedang: Seandainya
khilafat itu berdasarkan kebangsawanan, maka Abrahah bin Shabbah seorang
keturunan raja-raja, lebih utama dari Mu’awiyah . . . ! Dan jika berdasarkan
sebagai wali dari darah Utsman dan pembela haknya, maka putera Utsman r.a.
sendiri lebih utama menjadi wali dari Mu’awiyah … !
Setelah perundingan ini, kasus tahkim berlangsung
menempuh jalan sepenuhnya menjadi tanggung jawab ‘Amr bin ‘Ash seorang diri ….
Abu Musa telah melaksanakan tugasnya dengan mengembalikan urusan kepada ummat,
yang akan memutuskan dan memilih khalifah mereka. Dan ‘Amr telah menyetujui dan
mengakui usahanya dengan pendapat ini ….
Bagi Abu Musa tidak terpikir bahwa dalam suasana
genting yang mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan mala petaka besar ini,
‘Amr masih akan bersiasat anggar lidah, bagaimana juga fanatiknya kepada
Mu’awiyah . . . ! Ibnu Abbas telah memperingatkannya ketika ia kembali kepada
mereka menyampaikan apa yang telah disetujui, jangan-jangan ‘Amr akan bersilat
lidah, katanya:
“Demi Allah, saya khawatir ‘Amr akan menipu anda!
Jika telah tercapai persetujuan mengenai sesuatu antara anda berdua, maka
silakanlah dulu ia berbicara, kemudian baru anda di belakangnya … ! “
Tetapi sebagai dikatakan tadi, melihat suasana
demikian gawat dan penting, Abu Musa tak menduga ‘Amr akan main-main, hingga ia
merasa yakin bahwa ‘Amr akan memenuhi apa yang telah mereka setujui bersama.
Keesokan harinya, kedua mereka pun bertemu muka .
. . , Abu Musa mewakili pihak Imam Ali dan ‘Amr bin ‘Ash mewakili pihak
Mu’awiyah.
Abu Musa mempersilakan ‘Amr untuk bicara, ia
menolak, katanya:
“Tak mungkin aku akan berbicara lebih dulu dari anda … ! Anda lebih utama daripadaku, lebih dulu hijrah dan lebih tua … !”
“Tak mungkin aku akan berbicara lebih dulu dari anda … ! Anda lebih utama daripadaku, lebih dulu hijrah dan lebih tua … !”
Maka tampillah Abu Musa, lalu menghadap ke arah
khalayak dari kedua belah pihak yang sedang duduk menunggu dengan berdebar,
seraya katanya:
“Wahai saudara sekalian! Kami telah meninjau sedalam-dalamnya mengenai hal ini yang akan dapat mengikat tali kasih sayang dan memperbaiki keadaan ummat ini, kami tidak melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan jabatan kedua tokoh ini, Ali dan Mu’awiyah, dan menyerahkannya kepada permusyawaratan ummat yang akan memilih siapa yang mereka kehendaki menjadi khalifah . . . . Dan sekarang, sesungguhnya saya telah menanggalkan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan mereka . . . . Maka hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah kalian . . . !”
“Wahai saudara sekalian! Kami telah meninjau sedalam-dalamnya mengenai hal ini yang akan dapat mengikat tali kasih sayang dan memperbaiki keadaan ummat ini, kami tidak melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan jabatan kedua tokoh ini, Ali dan Mu’awiyah, dan menyerahkannya kepada permusyawaratan ummat yang akan memilih siapa yang mereka kehendaki menjadi khalifah . . . . Dan sekarang, sesungguhnya saya telah menanggalkan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan mereka . . . . Maka hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah kalian . . . !”
Sekarang tiba giliran ‘Amr untuk memaklumkan
penurunan Mu’awiyah sebagaimana telah dilakukan Abu Musa terhadap Ali, untuk
melaksanakan persetujuan yang telah dilakukannya kemarin. ‘Amr menaiki mimbar,
lalu katanya:
“Wahai saudara sekalian! Abu Musa telah
mengatakan apa yang telah sama kalian dengar, dan ia telah menanggalkan
shahabatnya dari jabatannya . . . ! Ketahuilah, bahwa saya juga telah
menanggalkan shahabatnya itu dari jabatannya sebagaimana dilakukannya, dan saya
mengukuhkan shahabatku Mu’awiyah, karena ia adalah wali dari Amirul Mu’minin
Utsman dan penuntut darahnya serta manusia yang lebih berhak dengan jabatannya
ini … !”
Abu Musa tak tahan menghadapi kejadian yang tidak
disangka-sangka itu. Ia mengeluarkan kata-kata sengit dan keras sebagai
tamparan kepada ‘Amr. Kemudian ia kembali kepada sikap mengasingkan diri . . .
, diayunnya langkah menuju Mekah … , di dekat Baitul Haram, menghabiskan usia
dan hari-harinya di sana …
Abu Musa r.a. adalah orang kepercayaan dan
kesayangan Rasulullah saw. juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para
khalifah dan shahabat-shahabatnya ….
Sewaktu Rasulullah saw. masih hidup, ia
diangkatnya bersama Mu’adz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah
Rasul wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawabnya dalam jihad
besar yang sedang diterjuni oleh tentara Islam terhadap Persi dan Romawi.
Di masa Umar, Amirul Mu’minin mengangkatnya
sebagai gubernur di Bashrah, sedang khalifah Utsman mengangkatnya menjadi
gubernur di Kufah.
Abu Musa termasuk ahli al-Quran menghafalnya,
mendalami dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya
yang memberikan bimbingan mengenai al-Quran itu ialah:
“Ikutilah al-Quran . . . dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh al-Quran … !”
“Ikutilah al-Quran . . . dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh al-Quran … !”
Ia juga termasuk ahli ibadah yang tabah.
Waktu-waktu siang di musim panas, yang panasnya menyesak nafas, amat dirindukan
kedatangannya oleh Abu Musa, dengan tujuan akan shaum padanya, katanya:
“Semoga rasa hawa di panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari qiamat nanti … !”
“Semoga rasa hawa di panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari qiamat nanti … !”
Dan pada suatu hari yang lembut, ajal pun datang
menyambut . . . . Wajah menyinarkan cahaya cemerlang, wajah seorang yang
mengharapkan rahmat serta pahala Allah ar-Rahman. Kahmat yang selalu
diulang-ulang, dan menjadi buah bibirnya, sepanjang hayatnya yang diliputi
keimanan itu, diulang dan menjadi buah bibirnya pula di saat ia hendak pergi
berlalu ….
Kalimat-kalimat itu ialah:
“Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari Mu lah kumohon heselamatan “.
“Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari Mu lah kumohon heselamatan “.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar