NIENYERUPAI MALAIKAT
Di tahun perang Khaibarlah ia datang kepada
Rasulullah saw. untuk bai’at …. Dan semenjak ia menaruh tangan kanannya di
tangan kanan Rasul, maka tangan kanannya itu mendapat penghormatan besar,
hingga bersumpahlah ia pada dirinya tidak akan menggunakannya kecuali untuk
perbuatan utama dan mulia ….
Ini pertanda merupakan suatu bukti jelas bahwa
pemiliknya mempunyai perasaan yang amat halus ….
‘Imran bin Hushain r.a. merupakan gambaran yang
tepat bagi kejujuran, sifat zuhud dan keshalehan serta mati-matian dalam
mencintai Allah dan mentaati-Nya. Walaupun ia mendapat taufik dan petunjuk
Allah yang tidak terkira, tetapi ia sering menangis mencucurkan air mata,
ratapnya: ”Wahai, kenapa aku tidak menjadi debu yang diterbangkan angin
saja … !”
Orang-orang itu takut kepada Allah bukanlah
karena banyak melakukan dosa, tidak! Setelah menganut Islam, boleh dikata
sedikit sekali dosa mereka! Mereka takut dan cemas karena menilai keagungan dan
kebesaran-Nya, bagaimanapun mereka beribadat ruku’ dan sujud, tetapi ibadatnya,
dan syukurnya itu belumlah memadai ni’mat yang mereka telah terima.
Pernah suatu saat beberapa orang shahabat
menanyakan pada Rasulullah saw.:
“Ya Rasulullah, kenapa kami ini … ?
Bila kami sedang berada di sisimu, hati kami
menjadi lunak hingga tidak menginginkan dunia lagi dan seolah-olah akhirat itu
kami lihat dengan mata kepala … !
Tetapi demi kami meninggalkanmu dan kami berada
di lingkungan keluarga, anak-anak dan dunia kami, maka kami pun telah lupa diri
…
Ujar Rasulullah saw.:
“Demi Allah, Yang nyawaku berada dalam
tangan-Nya! Seandainya kalian selalu berada dalam suasana seperti di sisiku,
tentulah malaikat akan menampakkan dirinya
menyalami kamu .. . ! Tetapi, yah yang demikian
itu hanya sewaktu-waktu … !”
Pembicaraan itu kedengaran oleh ‘Imran bin
Hushain, maka timbullah keinginannya, dan seolah-olah ia bersumpah pada dirinya
tidak akan berbenti dan tinggal diam, sebelum mencapai tujuan mulia tersebut, bahkan
walau terpaksa menebusnya dengan nyawanya sekalipun!
Dan seolah-olah ia tidak puas dengan kehidupan
sewaktu-waktu itu, tetapi ia menginginkan suatu kehidupan yang utuh dan padu,
terus-menerus dan tiada henti-hentinya, memusatkan perhatian dan berhubungan
selalu dengan Allah Robbul’alamin … !
Di masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin
Khatthab, ‘Imran dikirim oleh khalifah ke Bashrah untuk mengajari penduduk dan
membimbing mereka mendalami Agama. Demikianlah di Bashrah ia melabuhkan
tirainya, maka demi dikenal oleh penduduk, mereka pun berdatanganlah mengambil
berkah dan meniru teladan ketaqwaannya.
Berkata Hasan Basri dan Ibnu Sirin: ”Tidak
seorang pun di antara shahabat-shahabat Rasul saw. yang datang ke Bashrah,
lebih utama dari ‘Imran bin Hushain … !”
Dalam beribadat dan hubungannya dengan Allah,
‘Imran tak sudi diganggu oleh sesuatu pun. la menghabiskan waktu dan
seolah-olah tenggelam dalam ibadat, hingga seakan-akan ia bukan penduduk bumi
yang didiaminya ini lagi … ! Sungguh, seolah-olah ia adalah Malaikat, yang
hidup di lingkungan Malaikat, bergaul dan berbicara dengannya, bertemu muka
dan bersalaman dengannya … .
Dan tatkala terjadi pertentangan tajam di antara
Kaum Muslimin, yaitu antara golongan Ali dan Mu’awiyah, tidak saja ‘Imran
bersikap tidak memihak, bahkan juga ia meneriakkan kepada ummat agar tidak
campur tangan dalam perang tersebut, dan agar membela serta mempertahankan
ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Katanya pada mereka: “Aku lebih suka
menjadi pengembala rusa di puncak bukit sampai aku meninggal, daripada melepas
anak panah ke salah satu pihak, biar meleset atau tidak … !”
Dan kepada orang-orang Islam yang ditemuinya,
diamanatkannya: “Tetaplah tinggal di mesjidmu … Dan jika ada yang memasuki
mesjidmu, tinggallah di rumahmu … ! Dan jika ada lagi yang masuk hendak
merampas harta atau nyawamu, maka bunuhlah dia … !”
Keimanan Imran bin Hushain membuktikan hasil
gemilang. Ketika ia mengidap suatu penyakit yang selalu mengganggunya selama 30
tahun, tak pernah ia merasa kecewa atau mengeluh. Bahkan tak henti-hentinya ia
beribadat kepada-Nya, baik di waktu berdiri, di waktu duduk dan berbaring
. . .
Dan ketika para shahabatnya dan orang-orang yang
menjenguknya datang dan menghibur hatinya terhadap penyakitnya itu, ia
tersenyum sambil ujarnya: “Sesungguhnya barang yang paling kusukai, ialah apa
yang paling disukai Allah … !” Dan sewaktu ia hendak meninggal, wasiatnya
kepada kaum kerabatnya dan para shahabatnya, ialah: “Jika kalian telah kembali
dari pemakamanku, maka sembelihlah hewan dan adakanlah jamuan … !”
Memang, sepatutnyalah mereka menyembelih hewan
dan mengadakan jamuan! Karena kematian seorang Mu’min seperti ‘Imran bin
Hushain bukanlah merupakan kematian yang sesungguhnya! Itu tidak lain dari
pesta besar dan mulia, di mana suatu ruh yang tinggi yang ridla dan
diridlai-Nya diarak ke dalam surga, yang besarnya seluas langit dan bumi yang
disediakan bagi orang-orang yang taqwa ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar